11. Tetangga Julid

674 90 5
                                    

Siang sepulang menjemput Aluna, Gita menyempatkan diri mampir ke minimarket dengan lambang warna merah yang begitu terkenal.

Aluna yang mengira akan dibelikan jajan merasa girang. Namun saat ia memborong beberapa es krim dan membawanya ke kasir, Gita langsung memelototi sang anak. Membuat nyali gadis belia itu ciut dan mengembalikan beberapa. Menyisakan satu buah es krim saja.

Gita sendiri membeli beberapa bumbu yang ia butuhkan juga camilan serta keperluan dapur yang lupa dibeli tadi saat ke warung. Tak lupa mengambil minuman dingin sebagai pelepas dahagas yang lumayan bisa menghilangkan butiran-butiran keringat selama perjalanan menjemput Aluna.

"Ma, es krimnya aku makan sekarang ya. Nanti kalau sampai rumah sudah leleh, cuacanya panas banget ini," kata Aluna yang minta izin sama mamanya.

"Iya hati-hati kena baju ya," peringat kita yang diangguki oleh Aluna.

Gadis itu membuka perlahan bungkus es krim dengan batang stik yang ia pegang.  Motor melaju, satu tangannya berpegangan pada Gita dan satu tangannya memegang es krim. Menjilatinya perlahan. Karena rasa dingin menggigit tersebut bereaksi pada gigi Aluna. Ia memejamkan mata. Gita bisa melihat dari kaca spion betapa gemasnya gadis itu.

Selama perjalanan, Gita mempercepat laju motornya takut es Aluna semakin leleh dan akan menetes ke mana-mana, terlebih pada baju seragam. Begitu sampai di rumah es krim tinggal sedikit. Aluna menyelesaikan es krimnya di teras lebih dahulu sebelum membuka sepatu dan masuk ke rumah.

Sebelum masuk ke kamar, Gita memanggil sang anak.

"Luna minum air putih dulu," kata Gita

"Oh iya, Ma, lupa,' jawab Aluna yang melipir ke dapur menuang air putih dan meneguknya.

Rupanya Gita mengajarkan hal ini juga pada Aluna. Gal yang juga diajarkan ibunya saat dirinya masih kecil sampai dewasa, jika sudah minum es yang dingin maka langsung minum air putih. GIta merasa bangga ternyata pelajaran yang ia dapat dari ibunya diterapkan juga pada sang anak. Semoga ia mewarisi pelajaran baik pada Aluna.

Jangan sampai ia mewarisi kebiasaan buruknya pada sang anak. Namun sejauh ini yang ia lihat Aluna bukan anak yang rewel dan mudah diatur. Mandiri dan juga sedikit cerewet, memang sepertinya cerewet itu keturunan dari Tama.

Gita juga tidak merasa memiliki bakat itu yang diturunkan untuk anak-anak. Sudah pasti yang jelek-jelek keturunan dari Tama semua.

Aluna sibuk di kamar, belum keluar untuk minta makan. Lagi pula semua makanan juga sudah siap di meja. Melirik ke luar pada jemuran, Gita pun lekas mengambil jemurannya..

"Mbak Gita," sapa seseorang dengan suara cempreng.

Gita menoleh ke samping. Tembok di belakangnya ini bersebelahan langsung dengan milik tetangganya. Bukan tempat jemuran seperti milik Gita, melainkan jendela kamar yang dibatasi jalanan air.

"Iya," jawab Gita masih mengernyitkan kening mengira-ngira siapakah gerangan manusia dari balik jendela kamarnya ini. Menyembulkan kepala, menyapa dirinya dengan wajah menghitam karena sedang memakai masker.

"Kok tahan amat sih angkat jemuran siang-siang begini. Panas banget loh"

"Ya masa nggak diangkat. Lagian juga udah kering ini jemuran mau nunggu sampai magrib?"

"Ih Mbak kita kok jutek amat sih sama aku.  Kita kan bestian loh."

Dalam hati Gita ingin membungkam mulut tetangganya tersebut dengan masker sekalian agar tidak banyak berkomentar.

"Bukannya jutek sih, cuma apa salahnya angkat jemuran siang begini?"

"Nggak ada yang salah sih, Mbak  Git. Cuma agak sorean kan bisa. Kasihan kulitnya nanti bisa makin kusam. Dilihat-lihat Mbak Gita akhir-akhir ini makin kusam aja. Emangnya udah nggak rajin skincare-an ya? lihat nih, aku rajin maskeran dan Skin Care makanya kulitku tetap glowing.

Gita saja tidak paham apa itu Skin Care dan ia juga tidak sampai separah itu ia bermusuhan dengan matahari. Lagian mengambil jemuran kan tidak sampai sath jam yang membuatnya terpapar sampai gosong. Kenapa malah tetangganya yang bingung, sementara dirinya yang melakukannya.

"Biarin Mbak, kayak gini juga Tama masih selalu ngelonin aku kok," bales Gita memamerkan kemesraannya.

"Masa sih, hati-hati aja siapa tahu Mas Tama cari yang lain kalau Mbak Gita nggak pinter ngerawat diri."

"Iya Mbak nanti aku perawatan deh, berendam pakai air kapur. Udah, Mbak aku mau ke dalam panas banget ini," pamit Gita buru-buru karena malas sekali mengeladeni. Lagian siapa juga tetangganya itu, kepo amat ngurusin orang.

***

Gita sedang main game begitu asik berkenalan dengan beberapa user baru. Mengobrol santai dan menceritakan bagaimana game ini dulu, karena Gita mengaku user lama yang baru vakum dan kembali aktif lagi. Jadi beberapa user baru banyak yang bertanya tentang dirinya soal game di masa lalu.

Kedatangan Tama yang mengetuk salam membuat Gita meletakkan ponsel dan membukakan pintu.

"Udah pulang, Tam?" sambut Gita.

Sambutan yang tidak seperti dikenal oleh Tama, membuat laki-laki itu bertanya. "Sayang, aku ada salah ya?" tanya Tama sambil meletakkan sepatu di rak. Melepas kaus kaki dan berjalan menyusul Gita yang duduk di depan televisi. Menekuni ponselnya tanpa menoleh pada Tama.

"Maksudnya salah apa sih?  Enggak kok," jawab Gita tanpa mengalihkan perhatian pada ponsel. Membuat Tama jadi semakin penasaran.

Sebenarnya ia berbuat salah apa kok sampai istrinya begitu cuek padanya dan memanggil dirinya dengan nama saja, seperti seolah-olah kembali ke zaman mereka masih sekolah. Panggilan sudah tak asing di telinga kita kala memanggilnya sejak kecil.

Tama duduk di samping Gita, memeluk satu tangannya dan mengusap pundak Gta. "Sayang kalau aku salah bilang dong. Aku mau minta maaf, jangan kayak gini."

Gita kaget dengan rengkuhan tangan Tama. I menoleh dan mendapati wajah Tama begitu dekat dengan wajahnya, ditambah muka laki-laki itu memelas. Sangat bukan Tama sekali yang ia kenal selama ini.

"Apa sih, Tam, pulang-pulang kok aneh gini. Ganti baju sana, kamu bau," kata Gita menggerakkan pundaknya agar tangan Tama terlepas.

"Soalnya kamu panggil aku Tam, nggak panggil aku Sayang lagi. Pasti kamu kayak gini kalau aku bikin salah. Misalnya karena aku nggak ngasih ronde kedua padahal kamu mau tiga ronde."

Sontak Gita menjatuhkan ponsel, kaget dengan kalimat yang diucapkan Tama.

"Kamu bahas hal liar begini kok santai amat ya," heran Gita agak ngeri juga.

"Nah kan kamu panggil nama aku lagi. Jelas pasti kamu marah sama aku."

Gjta ingin menangis saja bingung menghadapi mode Hello Kitty dari Tama yang membuatnya frustrasi. Mending ia berantem sajalah dengan Tama ketimbang menghadapi sikap manja laki-laki di depannya ini.

"Oke aku nggak marah. Emangnya aku manggil kamu apa kalau nggak panggil nama?" tanya Gita penasaran segitunya Tama merajuk.

"Kamu kan biasa manggil aku Sayang. Itu kan panggilan kita dari dulu."

Kita terperang tak percaya. Haruskah ia melakukan ini? Memang sejak kemarin ia belum memanggil nama laki-laki di depannya ini dengan benar. Baru saat ini saja dan rupanya berefek tidak main-main bagi laki-laki ini. Gita menarik napas dan menghembuskannya pelan sebelum ia memanggil manusia yang menempel di pundaknya ini dengan kalimat ...

"Enggak, Sayang, aku nggak marah. Kamu buruan mandi aja deh sana terus makan."

Dengan begitu, Tama langsung merekahkan senyum. Melayangkan kecupan di bibir Gita sebelum melangkah pergi menuju kamar. Meninggalkan Gita yang tertegun dan berkedip patah-patah dengan suasana yang semakin hari semakin membuatnya tak berdaya.

_________

Salah PasanganWhere stories live. Discover now