1. Pria Berkemeja Batik

135K 1.9K 28
                                    

Badanku rasanya remuk redam. Seharian ini rapat bersama klien lumayan pelik. Menghabiskan waktu seharian demi mencapai kata deal. Tidak seperti biasanya, klien yang ini rewelnya nggak kira-kira. Banyak maunya. Rancangan yang aku susun bahkan mereka minta merombaknya lagi. Baru kali ini aku menemukan klien yang luar biasa menyebalkan.

Namun, tepat pukul tujuh malam akhirnya mereka sepakat untuk bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja.

"Istirahat aja, Din. Kamu pasti capek banget. Makasih buat hari ini, ya," ucap Raka, rekan satu tim saat kami berpisah untuk menuju kamar masing-masing.

"Ya, kamu juga. Sampai ketemu besok."

Aku memasuki kamar hotel setelah sebelumnya menempelkan kartu. Ruang hotel yang lumayan luas ini terang seketika saat aku menyelipkan kartu ke sebuah slot di dinding.

Kakiku bergerak ke sebuah rak panjang dan meletakkan tas laptop dan beberapa dokumen di sana. Saat itulah mataku tanpa sengaja melihat sebuah brosur dari hotel. Setelah kubaca ternyata berisi brosur fasilitas layanan pijat urut hotel.

Pucuk dicinta ulam tiba. Rasanya aku memang membutuhkan layanan pijat urut ini. Tanpa pikir panjang aku menelepon narahubung yang tertulis di brosur tersebut dan meminta satu terapis untuk datang ke kamarku. Setelahnya aku beranjak mandi, karena meskipun ada dalam ruang ber-AC tubuhku rasanya tak nyaman jika tidak menyentuh air seharian.

Tepat setelah selesai mandi, bel pintu terdengar. Aku yakin itu terapis yang kupesan. Dengan masih mengenakan jubah mandi, aku bergerak membuka pintu.

Seorang pria dengan kemeja batik lengan pendek berdiri di depanku. Dia tersenyum tipis dan mengangguk. Aku cukup terpana untuk beberapa saat sebelum mataku mengerjap lantaran dia menyebut namaku.

"Nona Andini?"

"I-iya. Silakan masuk."

Jujur, aku agak bingung. Karena kupikir terapis itu perempuan. Aku agak kaget juga karena terapis ini memiliki wajah yang ... seperti ... Ah, bahkan aku nggak yakin dia seorang terapis. Postur tubuhnya tinggi, nggak seperti lelaki Indonesia pada umumnya. Memiliki garis wajah yang tegas. Aku akui dia tampan. Tampan banget malah dengan bekas cukur di area rahang, dagu, dan kumis. Hidungnya tinggi dan mancung. Bibirnya penuh berbelah. Aku tidak terlalu bisa mendefinisikan, yang jelas dia tampan dan bikin aku lumayan ... grogi.

"Jadi kamu terapis pijat urut yang saya pesan?" tanyaku mencoba mencairkan suasana. Aku terserang gugup. Serius. Pria itu terus menatapku dengan pandangan yang sulit aku artikan.

Dia bahkan tidak menjawab kecuali sebuah anggukan dan senyum tipis.

"Nama kamu?"

"Ribel."

"O-oh. Oke. Kalau begitu saya akan siap-siap dulu." Aku hendak beranjak ketika tiba-tiba saja pria yang mengaku bernama Ribel itu menyodorkan sebuah kain batik padaku.

"Nona bisa pakai ini."

Tatapku bergulir ke kain tersebut dan meraihnya dengan ragu. "O-oke."

Aku bergerak ke kamar mandi dan melilitkan kain itu ke tubuhku. Selain kain ini, aku hanya mengenakan celana dalam dan juga bra. Jujur aku deg-degan. Ini kali pertama aku mendapat terapis laki-laki, mana ganteng banget lagi. Tapi, nggak masalah. Yang penting rasa pegalku reda.

Aku keluar dari kamar mandi dan melihat Ribel tengah menyiapkan beberapa tube di atas tempat tidur. Di atas nakas aku melihat lilin aroma terapi menyala. Wanginya menenangkan.

Ribel kembali tersenyum tipis dan mempersilakan aku berbaring di ranjang tidur. Aku menurut saja karena badanku sudah ingin mendapat sentuhan.

Aku berbaring tengkurap dengan kepala menoleh ke samping. Bisa kulihat Ribel tengah mencampur entah ramuan apa ke dalam sebuah cawan kecil.

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now