17. Hukuman

41.2K 1.4K 62
                                    


Cerita ini di luar ekspektasi banget. Apa karena ini cerita dewasa ya jadi banyak yang ngintip, tapi sayang gak pada mau vote. Wkwk, malu kah? Padahal aku terima dengan senang hati loh, wkwk.


Seperti biasa hari Selasa jadwal Under Cover update. Doakan aku sehat ide mengalir lancar biar bisa update tepat waktu. Buset.

Baiklah, kuy, siapkan jempolnya jangan lupa vote sebelum baca.

🔥🔥🔥

Tomohon ternyata seindah ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tomohon ternyata seindah ini. Berada di kawasan utara Sulawesi, ujung Indonesia bagian timur. Aku pikir hanya bisa menemukan kawasan hijau begini di daerah puncak, ternyata mainku saja yang kurang jauh. Khususnya di wilayah Indonesia.

Bukan kurang jauh, sih. Lebih tepatnya kurang mengeksplorasi wilayah Nusantara. Aku lebih sering bepergian ke luar negeri daripada ke negeri sendiri. Miris dan sok borjuis.

Tubuhku berjengit kala dua buah tangan memelukku dari belakang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Ribel. Namun, setelahnya aku tidak peduli.

"Gimana menurutmu? Apa gambarmu cocok diaplikasikan di tempat ini?"

Posisi kami sedang berada sekitar tiga ratus meter dari danau berair jernih. Danau yang diapit dua gunung itu dibidik Ribel untuk membuat vila dan tempat wisata. Lalu dia meminta Externaise untuk merancang konsep seperti yang dia inginkan.

"Sangat cocok. Saking cocoknya nggak seharusnya aku ke sini untuk meninjau langsung. Apa arsitek kemarin kurang cukup?" ujarku sedikit kesal. Perbuatan seenaknya Ribel akan berakhir dengan tumpukan pekerjaan saat aku pulang ke Jakarta nanti.

Pria berbahu lebar itu terkekeh. Sumpah nggak ada yang lucu dengan ucapanku. "Selain kamu pemegang proyek—"

"Siska yang menangani proyek ini. Aku cuma perantara," selaku cepat, merasa makin dijadikan tumbal dalam proyek sialan ini.

"Ya, bosmu. Tapi kamu juga ikut andil dalam pembuatan ekowisata ini, Sayang." Ribel membalik tubuhku hingga kami berhadapan. "Kalau kamu nggak ingin ke sini dalam rangka pekerjaan, gimana kalau kita belokan saja tujuan kita ke sini, Nona Manis," ujarnya dengan sudut bibir terangkat sebelah.

Aku sangat hapal isi kepalanya. Apalagi sebelah tangannya sudah mulai mengusap pinggangku. Namun, kali ini aku nggak boleh lengah seperti di pesawat. Kutepis tangannya yang suka mengembara tanpa aba-aba itu, lalu beranjak meninggalkannya.

"Andini, kamu masih marah?" Dia mengejarku.

"Menurut kamu?" tanyaku sinis sambil terus melewati jalan rerumputan. Di sekitar danau masih banyak tanaman liar. Meski begitu ada jalan setapak yang bisa digunakan sebagai akses menuju ke danau itu. Jika di-setting ulang, ini akan menjadi tempat luar biasa. Kepalaku sudah bisa membayangkan betapa cantiknya konsep ekowisata yang sudah susah payah aku susun bisa terealisasikan di sini.

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now