19. Kabur

25.6K 1.2K 54
                                    


Seperti yang aku bilang akan ada beberapa kelemotan update, karena beneran sibuk di reallife. Jadi, loncat-loncat aja updatenya. Sebelum lanjut aku mau disclaimer dulu.

DISCLAIMER :

Cerita ini banyak mengandung konten 21+ jadi harap bijak memilih bacaan. Ini akan beda dari ceritaku sebelum-sebelumnya. Karakter penokohan memang aku buat mature dan absurd seperti itu. Pokoknya nggak aman buat di bawah 18.

 Pokoknya nggak aman buat di bawah 18

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.



Ribel melewati jalan raya menjauhi kota. Bermodalkan topi dan sebuah masker hitam, aku terus mengikutinya menggunakan ojek yang kebetulan aku temui tidak jauh setelah Ribel keluar dari hotel.

Selama kurang lebih setengah jam, mobil pria itu berbelok memasuki sebuah restoran.

"Pak, pak. Belok. Jangan terlalu dekat dengan mobil itu," ujarku ke supir ojek yang kunaiki.

Aku menyuruh supir ojek berhenti tepat di gerbang restoran itu. Mobil Ribel ada di salah satu space parkir depan restoran.

Kakiku bergerak cepat menuju restoran yang dominan tempatnya menggunakan dinding kaca. Aku bisa dengan mudah menemukan Ribel di salah satu sudut restoran.

Pria itu menemui seorang wanita dan seorang anak kecil—yang langsung loncat ke pelukannya begitu Ribel datang.

Aku tidak akan berpikir macam-macam sebelum tahu siapa mereka sebenarnya, dan ada hubungan spesialis apa Ribel dengan anak itu.

"Papa lama banget. Aku nungguin terus."

Ucapan bocah itu sontak mampir ke pendengaran begitu aku membuka pintu restoran. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari pintu membuat suara lantang anak itu bisa terdengar jelas.

Gara-gara itu aku tertegun di depan pintu selama beberapa saat sampai-sampai seorang pelayan datang menghampiri.

"Maaf, Nona. Ada yang bisa kami bantu?" tanya pelayan itu sopan.

Aku tergagap dan refleks memesan meja untuk satu orang. Pelayan itu mengajakku ke salah satu meja yang jaraknya lumayan jauh dari meja Ribel. Dari sini aku nggak bisa mendengar percakapan mereka kecuali suara cempreng anak kecil itu.

"Jus strawberry saja," ujarku ketika pelayan itu menanyakan pesanan.

"Baik, Nona. Tunggu sebentar, ya."

Mataku kembali memperhatikan meja Ribel. Pria itu sekarang sedang memangku anak kecil berjenis kelamin laki-laki itu. Bisa kutaksir usia anak itu sekitar empat atau mungkin lima tahun.

Diam-diam aku mencari jejak kemiripan keduanya. Pipi anak itu chubby dan matanya bulat kecoklatan. Tidak ada kemiripan sama sekali dengan Ribel. Aku merasa lega di sini.

Hanya saja, wanita di hadapan Ribel itu memiliki kecantikan yang nggak bisa aku anggap remeh begitu saja. Dia cantik, sangat cantik malah. Tapi urusan bentuk tubuh, dia kalah jauh denganku. Bibirku menyeringai kecil merasa menang karena yakin dalam urusan ranjang, aku merasa lebih jago dari dia.

Under Cover (THE END) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora