10. Panas

71.7K 1.7K 55
                                    

Harusnya ini aku up semalam, tapi aku malah ketidura 🤣 ya udahlah up pagi ini aja.

Ada yang masih menanti lanjutan Ribel-Dini enggak? Lapak ini nggak bakal panjang kok. Ini  cerita intermezzo aku yang nggak tahan sama ide-ide yang terus bergentayangan di kepala.

Oke, oke, yuk kita lanjut aja. Jangan lupa siapkan jempol kalian, buat komen, tap bintang, dan follow authornya.

💜💜💜



Tatap kami bertemu sesaat ketika jaraknya makin dekat. Aku sampai harus menahan napas karena mata tajamnya cukup mengintimidasi. Ucapan Bagas selanjutnya seperti angin lalu. Perhatianku sekarang benar-benar tertuju pada Ribeldy. Entah untuk alasan apa aku mendadak salah tingkah. Refleks aku merapikan rambut, dan menyelipkannya ke balik telinga. Bahkan aku mengulas senyum dan bersiap menyambutnya.

"Nggak ada salahnya kan kita coba?" Suara Bagas masih sayup-sayup aku dengar.

Ribel terus berjalan mendekat. Ya, kupikir begitu, tapi saat posisinya kurang dari beberapa depa dari posisiku, langkahnya tiba-tiba berbelok. Ini di luar dugaan. Senyum yang aku kembangkan mendadak lenyap dan berganti perasaan malu juga kecewa. Bahkan dia tidak menyapaku. Sial.

"Din? Kamu dengar aku kan?"

"Ah? Gimana?"

Buyar sudah. Fokusku benar-benar kacau gara-gara Ribel.

Beruntung Bagas tidak marah atau mempermasalahkan ini. Dia malah tersenyum. "Kamu kenapa? Muka kamu merah."

"Oh ya?" Spontan aku memegang kedua pipi. Aku yakin wajah merah ini lantaran rasa malu karena diabaikan.

"Kayaknya kamu nggak banyak minum deh."

Aku nyengir lalu beranjak turun dari bar stool. "Kalau kita lama-lama di sini aku bakal banyak minum. Kita ke Nando dan lainnya aja, yuk."

"Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku, Din."

"Mungkin nanti kita bicarakan ini lagi." Aku tersenyum dan tidak berniat membahasnya. Bagas juga tidak protes lagi. Dia mengekoriku kembali ke table. Hanya saja ....

Aku memelankan langkah ketika melihat di table Nando dan teman-temannya ada Ribel juga di sana. Pria itu tampak sedang mengobrol dengan Nando sambil sesekali melempar tawa. Mataku menyipit, dan di dalam kepala ini mendadak penuh tanda tanya.

"Dindin! Sini!" seru Nando memanggil dengan tangan melambai.

Aku menelan ludah ketika seperkian detik tatapku dan tatap Ribel bertemu. Dia tampak sedang memegang gelas bulat yang aku yakin berisi martini.

"Yuk, Din," ujar Bagas menyentuh pinggangku sesaat lantas melewatiku menuju teman-temannya.

Nando menyeringai ketika aku sampai. Tatapan jailnya bisa aku deteksi dengan baik.

"Lo masih ingat dia nggak, Din?" tanya Nando seraya merangkul bahu Ribel yang duduk di sampingnya.

Tentu saja ingat. Dia itu CEO yang pura-pura jadi terapis pijat supaya bisa meniduriku.

Aku mengangguk, tapi lantas segera menggeleng. "Nggak, lupa."

"Lo emang banyak berubah, Bel. Makanya Dindin lupa. Apa perlu gue ingetin?" tanya Nando kepada pria di sampingnya. Sesekali dia melirikku dengan senyum miring yang menyebalkan.

Ini kejutan buatku karena ternyata Nando mengenal Ribel. Dan mungkin mereka berteman. Bukan mungkin lagi, sih, tapi memang sudah jelas. Kalau mereka nggak berteman, nggak mungkin sekarang bisa bersama.

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now