29. Ditinggal

19.3K 881 22
                                    

Jumat kemarin aku nggak up karena ngejar deadline TWENTY YEARS yang harus tamat akhir bulan ini. Kalian udah baca belum? Udah tamat loh, tinggal marathon aja tanpa nungguin lagi.

Oh ya, jadwal up Ribel aku ubah lagi, ya. Sekarang nggak aku pakein patokan hari. Jadi, kalo udah ada yang kutulis bisa langsung up tanpa nunggu lagi.

Yang kangen Dindin jangan lupa vote dan ramaikan. Oh ya, yang baru gabung aku ucapin selamat datang. Jangan lupa FOLLOW AUTHORNYA ya...

 Jangan lupa FOLLOW AUTHORNYA ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dari : noreply@mail.grandix.com
Balas ke : noreply@grandix.com
Kepada : santika.andini@externaise.com
Tanggal : xx-xx-xxxx

Jauhi Ribel.

__________

Ada sepuluh email yang isinya semua sama ketika aku mulai kembali bekerja. Mataku nanar menatap sederet email dengan tanggal yang berbeda, mengganggu di antara tumpukan email lain. Aku pikir saat kuabaikan nggak akan muncul lagi. Ternyata malah spam lebih banyak.

Aku bisa saja melaporkannya sebagai serangan cyber, tapi sepertinya akan buang-buang waktu dan tenaga. Jadi, kuputuskan membiarkan saja.

Penyambutan luar biasa yang dilakukan orang-orang kantor membuatku terharu. Tapi yang lebih membuatku terkesan nggak ada yang memandangku dengan tatap kasihan atau sebagainya. Perlakuan mereka sama saja seperti dulu. Aku merasa baru pulang liburan panjang, bukan dari ketimpa musibah.

Namun yang menyebalkan, Siska rupanya tidak membiarkanku menganggur. Dengan sadis tumpukan pekerjaan dia lempar ke mejaku. Nggak ada waktu buat berleha-leha. Melihat kacaunya kertas deadline di atas meja membuatku membuang napas berulang.

"Masa manja kamu udah habis ya, Sayang. Sekarang waktunya nyari duit. Ya meskipun kamu udah punya ATM berjalan, mandiri kan perlu," cerocos Siska saat memberi tumpukan pekerjaan yang harus kucek. Belum lagi yang di email, di papan gambar juga.

"Ya, ya, ya. Sekali kacung tetep aja kacung," gerutuku, membuat Siska tertawa lebar. Tungkainya yang panjang lalu diayunkan menuju meja brondongnya.

Panggilan dari Ribel masuk ketika aku sudah mulai mengerjakan pekerjaan. Sebuah pensil terselip di cuping telinga, rambut kucepol asal-asalan. Kacamata kerja dan secangkir ....

"Jangan ngopi dulu, ya," ucap Ribel di ujung sana.

Baru juga aku mengangkat cangkir kopiku. Larangan lebih dulu keluar.

"Demi kesehatan kamu," lanjutnya yang terpaksa membuatku meletakkan cangkir itu.

"Nggak, kopinya udah aku kasih ke orang sebelah."

Raka pasti senang mendapat seduhan kopi tanpa harus ke pantry.

"Kalau masih belun enak badan jangan dipaksakan. Minta izin sama Siska aja lagi."

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now