43. Freak

18.1K 636 51
                                    

Ada yang nunggu kelanjutan Andini? Yuk, kencengin dulu vote-nya sebelum lanjut.

Disclaimer :

Ini cerita dewasa, warning 21+ sudah aku tag di awal. Ini hanya hiburan tolong jangan sampai baper. Ini aku tulis di tengah ruwetnya isi kepala.

Tommy menyerahkan sebuah ponsel baru kepada Ribel dengan wajah meringis

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Tommy menyerahkan sebuah ponsel baru kepada Ribel dengan wajah meringis. Alih-alih mengucapkan terima kasih Ribel malah menatapnya sinis.

"Lain kali jangan suka ganggu kegiatan orang," tukas Ribel ketus.

Pria tinggi di depannya hanya mengangguk sambil tersenyum kaku. 

Aku sendiri pura-pura tidak mendengar apa pun. Kejadian semalam masih menyisakan sedikit malu pada asisten Ribel yang satu itu.

"Satu jam dari sekarang Anda sudah ditunggu Mr. Will, Pak," ujar Tommy mengingatkan jadwal atasannya.

"Kita berangkat sekarang saja." Ribel melirikku. "Udah siap kan, Sayang?"

Tanpa menjawabnya, aku beranjak menarik travel bag. Namun, si Tommy buru-buru mengambil alih koper itu dari tanganku.

"Biar saya bawakan, Nona."

Aku berdeham sesaat, lalu membiarkan dia membawa koper itu. Untung aku mengenakan kacamata hitam, jadi tidak ada yang tahu ekspresiku yang sebenarnya.

"Kamu mau ikut meeting bersama Mr. Will atau menunggu di apartemen?" tanya Ribel ketika kami melangkah menuju Harbour Bay.

Hotel ini terhubung langsung dengan pelabuhan penyeberangan ke Singapore jadi kami hanya tinggal berjalan kaki menuju terminal.

Seperti yang sudah-sudah jalan bersama Ribel segalanya selalu dipermudah. Jika orang lain sibuk mengantri boarding pass atau pun imigrasi, maka kami terus berjalan tanpa menunggu lagi.

Lantaran Ribel langsung menyewa speedboat dengan jenis cabin cruiser—alih-alih menumpang Ferry seperti orang-orang—kami pun bisa langsung berangkat tanpa harus menyesuaikan jadwal. Meskipun ya, ini sebenarnya berlebihan. Please deh, nggak ada satu jam untuk menyeberang ke negeri tetangga itu.

Menyebrangi Selat Singapore dengan pemandangan yang luar biasa membuatku teringat ketika berkeliling Lombok bersama rekan tim di sana. Ingat Lombok otomatis aku mengingat Ben juga. Mungkin sekarang pria itu sedang bersama putrinya.

Tanpa sadar aku tersenyum kecut. Menyia-nyiakan orang tulus itu ternyata nggak seenak ini. Namun, lebih nggak enak lagi kalau aku membohongi diri sendiri dan menerimanya. Aku cukup tahu diri, juga nggak ingin membuat Ben menyesal suatu hari.

Sebuah lengan menyusup, melingkari perutku dari belakang. Lalu suara berat pria yang menjadi alasanku menolak Ben menyusul.

"Pasti kamu lagi mikirin gimana rasanya bercinta di tengah laut begini."

Under Cover (THE END) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz