24. Maaf

24.2K 1.1K 61
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Sebajingan itu dia. Melukaiku ternyata belum cukup. Bahkan Ribel dibuat menderita. Aku menahan perih ketika lelaki itu menceritakan apa yang sudah dia alami selama beberapa Minggu ini. Rasa marahku padanya luruh perlahan. Namun dari semua hal, satu yang menjadi pertanyaanku. Bagaimana dia memandangku sekarang?

Pipi Ribel masih basah. Matanya juga memerah. Tangannya terjulur dan meraih tanganku. "Bagaimana perasaan kamu sekarang?" tanya pria itu lirih.

Aku menarik napas dalam menekan rasa sakit di dada. Mengambil tisu, aku menyusut air mata. Sama halnya dengan Ribel, wajahku juga banjir air mata sekarang.

"Jauh lebih baik dari sebelumnya." Apalagi setelah melihat Ribel.

Pria berhidung bangir itu tersenyum. Meskipun berwajah tirus, dia masih saja terlihat tampan. "Aku nggak akan lepasin  keparat itu karena udah bikin kamu terluka. Luka kamu jauh lebih sakit daripada aku. Akan aku pastikan dia membusuk di penjara atau mati."

Aku menunduk. Dadaku terasa sesak kembali. Dan ketika bayang-bayang tangan Bagas bergerak di sekujur tubuh ini, aku segera menepisnya.

Panas di ujung hidung kembali menyiksa. Aku segera menengadahkan wajah, menghalau air mata yang lagi-lagi berdesakan di pelupuk mata.

"Din, are you okay? Do you need something?"

Aku menggeleng cepat. Ribel bisa sembuh dengan luka yang dia dapat. Tapi aku? Sampai kapan pun sepertinya bakal terus aku bawa luka ini.

"Aku udah begini. Mungkin sekarang kamu jijik. Orang lain udah nyentuh aku secara nggak manusiawi. Bukan hanya luka fisik yang aku terima, batinku juga. Aku nggak akan menyalahkan kalau kamu ingin menjauh." Bulir bening itu kembali jatuh, tapi aku segera mengusapnya. "I'm okay."

Bibirku bergetar saat mengatakan itu.  Ribel sadar itu dan menggenggam tanganku makin erat.

"Jangan berpikir aku akan menjauh atau ninggalin kamu. Itu nggak akan pernah aku lakukan." Dia memintaku mendekat. Lalu saat aku menurutinya, dia memelukku.

Di sana tangis ini makin pecah. Aku nggak bisa menahannya lagi. Dadaku rasanya ingin meledak saja.

Ribel membiarkan aku tetap begini. Tangannya yang bebas mengusap-usap punggungku naik turun. Seolah menyalurkan energinya padaku.

"Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan memastikan itu," bisiknya, mencium pundakku dan memeluk makin erat.

***

Menurut Ribel, ini adalah tempat yang paling aman buatku. Pandanganku memendar ke sekeliling ruangan. Ini bukan pertama kalinya aku datang ke tempat ini.

"Kamu aman di sini, Din," ucapnya seraya berjalan dengan kursi roda menuju jendela tinggi. Dia menarik tirai agar cahaya matahari bisa masuk.

Saat keluar dari rumah sakit, Nando memaksaku untuk tinggal bersamanya di Bandung. Tentu saja aku nggak mau. Apalagi kalau sampai merepotkan istrinya. Jadilah aku di sini, dia residen milik Ribel.

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now