28. Ucapan Terima Kasih

19.6K 882 23
                                    

Ada yang nunggu Ribel-Dini enggak nih? Yang kangen sama mereka langsung corat-coret aja ya. Jangan lupa wajib vote sebelum lanjut baca.

"Kakiku seperti patah dua kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kakiku seperti patah dua kali."

Aku terkejut melihat Ribel terperenyak di lantai. Dengan cepat aku menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos.

"Ribel, sori, sori, aku nggak bermaksud mendorong kamu tadi. Apa kamu nggak apa-apa?" tanyaku panik dan bingung secara bersamaan.

Dia menggeram, wajahnya memerah seperti menahan kesal. Dengan kasar dia menarik selimut, tapi dengan cepat pula aku menutupi tubuhnya lagi.

"Maaf aku nggak sengaja. Aku tadi refleks," ucapku lagi merasa bersalah.

Dia mendengus. "Refleksmu bikin tulangku remuk dua kali."

"Maaf. Aku bantu berdiri." Aku segera meraih lengannya, dan membantunya duduk di atas ranjang. "Apa kakimu sakit lagi?" tanyaku meneliti kakinya.

"Sedikit nyeri, tapi tulang punggungku yang lebih sakit. Untung kepalaku nggak sampai terbentur."

Aku meringis ngilu. "Maaf." Entah sudah berapa kali Ribel selalu terkena efek seperti ini. Bahkan aku pernah membuatnya nyungsep di closet kamar mandi.

"Apa semua baik-baik saja?"

Kami kompak menoleh mendengar suara panik Suster Vina. Wajahnya tampak khawatir dan bergegas mendekat ketika dua kruk milik Ribel terbengkalai di lantai.

"Saya tadi mendengar suara cukup keras. Saya pikir Pak Ribel jatuh atau—"

"Aku memang jatuh," sahut Ribel agak ketus.

"Tapi Anda nggak apa-apa kan, Pak? Biar saya periksa."  Vina makin mendekat dan membuatku melebarkan mata.

"Nggak perlu!" cegahku langsung. Ribel sedang tidak mengenakan pakaian apa pun. Tubuhnya bermodal selimut mana mungkin aku biarkan suster itu memeriksa?

"Tapi, Mbak. Saya takutnya Pak Ribel—"

"Dia nggak apa-apa. Kamu boleh keluar. Ribel biar aku yang urus." Aku bersikeras, mengabaikan pelototan Ribel yang pasti kesal saat aku bilang dia nggak apa-apa.

"Ba-baik. Tapi kalau ada apa-apa segera panggil saya, ya, Mbak."

"Iya, iya. Kamu boleh pergi." Aku mengedikkan dagu, membuat gerakan mengusir.

"Kenapa kamu melarang dia memeriksa kondisiku?" tanya Ribel begitu Suster Vina menutup pintu kamar. Dua alis tebalnya menukik, dahinya berlipat tak terima.

"Terus, biarin dia menjamah tubuh telanjang kamu?" Aku ikut memelotot.

"Dia kan cuma mau memeriksa. Bisa saja kan aku—"

Aku berdiri dan berkacak pinggang. "Nggak ada ya, Ribel! Kamu mau nyuri kesempatan sama dia biar 'anu' kamu yang terlanjur berdiri itu bisa dipegang sama dia kan?!"

Under Cover (THE END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang