39. Duren

18.3K 800 56
                                    

Kayaknya bab kemarin pada emosi ya sama Dini, aku jadi takut nengok komen. 🤣
Tapi eh tapi yang udah follow aku di Karyakarsa tau kan ya ada hidden part 8 setelah bab kemarin.

Nah, yang belum baca, bisa ke sana dulu ya. Liat tuh Ribel ngamuk.

Link : https://karyakarsa.com/IceCoffe/hid-506058

Nah, sekarang kita lanjut ke Bab 39 ya, Teman-teman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nah, sekarang kita lanjut ke Bab 39 ya, Teman-teman. Kemungkinan besar Ribel-Andini bakal tamat di bab 40an atau 50an. Nggak lama lagi, kalau aku moodnya bagus.

Oke jangan lupa vote dan ramaikan ya teman-teman.

_________


Aku menjabat tangan semua anggota rapat yang hadir di pertemuan pamungkas ini. Rapat yang menandakan segalanya telah selesai dari seluruh rangkaian proyek. Dokumen penting sudah aku pertanggungjawabkan semua. Dan, hari ini aku akan kembali ke Jakarta.

Saat berjabat tangan dengan Ben, pria itu seperti enggan melepas tanganku. Wajah tenang dan senyumnya itu mengisyaratkan bahwa tidak ada hal apa pun yang membuatnya merasa tersingkir.

"Aku menunggumu di Surabaya. Kapan pun kamu mau datang," ucapnya. Aku mengartikan dia tidak ingin melepasku sepenuhnya.

Tidak banyak yang bisa kurespons. Selain masih banyak anggota rapat lainnya. Tidak jauh dari tempatku saat ini, Ribel tengah mengawasiku. Di balik kacamata hitam yang bertengger di hidung bangirnya, aku tahu dia memperhatikan semua gerak-gerik yang aku lakukan.

Aku sudah cukup pusing dengan perdebatan antara Ribel dan Ben. Belum lagi harus melayani sisi liar Ribel yang seakan nggak pernah puas.

"Kamu milikku, Din. Aku nggak pernah rela orang lain menyentuhmu."

Di bawah kungkungannya aku hanya bisa mendesah pasrah. Beberapa malam dia selalu bermain penuh emosi. Aku sampai kewalahan meladeninya.

"Terima kasih buat semuanya, Ben." Hanya sebatas itu yang bisa aku ucapkan sebagai balasan.

Apalagi dehaman keras Ribel lantas menginterupsi. Refleks aku menarik tangan, dan segera berpamitan dengan lainnya. Setelah itu buru-buru keluar dari ruang meeting. Tidak ingin ada perseteruan lagi.

Aku memilih bungkam selama perjalanan di udara. Memilih mengenakan kacamata hitam agar ekspresiku tidak bisa terbaca. Aku nggak mau Ribel tahu kalau aku tengah bersedih karena berpisah dari Ben. Memang bukan yang sedih banget, tapi jujur aku sedih berpisah dengan pria sebaik dia. Ben sudah banyak menolong di Pulau Komodo ini.

"Sayang, kamu lapar? Mau makan sesuatu?" tanya Ribel sembari duduk di kursi sebelah.

Aku menggeleng dan mengubah posisi duduk setengah rebah seraya memalingkan muka. Pura-pura tidur.

"Kamu yakin? Dari pagi kamu belum makan. Memangnya perut kamu nggak lapar?"

"Aku ngantuk," jawabku malas. Semoga Ribel tidak menyadari perubahan mood-ku. Meski begitu bisa kudengar napas kasarnya berembus.

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now