14. Malam Mengerikan

45.4K 1.3K 43
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Seperti apa yang dia katakan sebelum berangkat, kami tidak lama di pesta itu. Setelah mencicipi beberapa menu makanan, kami pun keluar dari ruangan itu. Lagi pula aku juga tak nyaman berlama-lama di sana. Mata Baary selalu mengawasiku. Padahal ada wanita cantik di sebelahnya. Ribel yang tahu hal itu juga, langsung pamit kepada pemilik acara. Dan, setengah perjalanan pulang kami, hanya diisi dengan kebungkaman.

Aku nggak tahu apa yang Ribel pikirkan. Hanya saja mukanya mendadak tak sedap dipandang. Rahangnya mengetat, dua alis tebalnya bahkan terus menyatu. Sesekali dia terlihat seperti orang yang sedang berpikir. Seharusnya aku bertanya apa yang terjadi padanya, tapi aku lebih memilih diam. Tenggelam dalam pikiranku juga.

Baary, harusnya aku nggak perlu terkejut dia sudah bisa menggandeng perempuan lain. Bukankah itu hal yang biasa dia lakukan? Bergonta-ganti wanita. Entah sudah berapa kali aku memergokinya jalan dengan wanita berbeda. Namun, rasanya kali ini membuatku sedikit terusik. Kok bisa dia jalan sama tante-tante? Dan perasaanku mengatakan sebenarnya dia sudah lama jalan dengan tante itu, bahkan sebelum kami bercerai.

"Kamu lagi mikirin mantan?"

Suara berat Ribel membuatku tersentak dari lamunan. Refleks aku menoleh, dan menemukannya sedang menatapku tajam.

"A-aku ...."

Anehnya aku malah gugup sendiri dan nggak tahu mau menjawab apa.

"Benar kamu memikirkan pria itu?" Wajahnya sedikit terperangah. "Bagaimana bisa kamu masih memikirkan pria brengsek seperti dia?" Ucapannya terdengar seolah-olah dia tidak habis mengerti denganku. Diperkuat dengan gelengan lemah yang meremehkan.

"Aku nggak memikirkan dia," bantahku. Meskipun iya, nggak mungkin aku mengaku.

"Oh ya? Sejak keluar dari pesta itu kamu diam, Din."

"Kamu sendiri juga diam."

"Kenapa nggak kamu ajak ngobrol?"

Aku melengos. "Males. Bicara sama orang yang wajahnya kaku."

Sontak Ribel meraba wajahnya sendiri. Membuatku memutar bola mata.

"Aku nggak merasa begitu," ujarnya sambil menyentuh pipinya sendiri.

Dia nggak sadar kalau mukanya dari tadi seperti kanebo kering. Saat melihat jalanan, aku baru sadar kalau mobil ini tidak mengarah ke gedung apartemenku. Malah lurus ke arah hotel tempat Ribel tinggal.

"Ribel, kenapa kita lurus? Harusnya di diepan sana tadi belok."

"Itu kan kalau mau ke apartemen kamu," ujarnya sambil melepas sabuk pengaman.

"Tapi aku mau pulang."

"Nggak sekarang, Honey." Dia menggeleng lalu tersenyum penuh arti.

Senyumnya manis, tapi malam ini aku sedang nggak tertarik dengan senyum itu. Apalagi ketika dia mencondongkan badannya ke arahku. Lalu dengan cepat menyambar bibirku. Bukan hanya itu, bahkan tangannya bergerak merambat ke pahaku.

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now