12. Puas

64.7K 1.4K 65
                                    

DISCLAIMER lagi 😭

Ini pure imajinasi dan udah mature banget bagi aku. Meskipun banyak cerita yang lebih vulgar. Mohon jangan menghujatku ya karena bikin cerita beginian huuuuuu....😭

Yuk bakar lagi. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya.  Nggak usah malu-malu kasih vote.

Happy reading

🔥🔥🔥

-


-


-



Tatapan Nando menghunus tajam. Berkilau-kilat dan hampir membuatku terjungkal. Bagaimana tidak? Ketika aku membuka pintu apartemen, ternyata abangku yang satu itu sudah berdiri di balik pintu dengan tangan melipat dada. Bibirnya berlipat dan pandangannya benar-benar menyeramkan. Demi Tuhan! Ini masih pukul lima pagi.

"Dari mana aja lo semalaman? Ngilang gitu aja tanpa kabar, ditelpon nggak diangkat, chat nggak dibalas. Lo tau nggak semua cemasin lo!" omelnya bahkan sebelum kakiku masuk.

Aku memberengut lalu melangkah melewatinya. "Bisa nggak ngomelnya ntar aja? Gue capek mau tidur."

"Capek? Emang lo habis dari mana? Gue tahu sekarang lo single, bebas ke mana pun. Tapi nggak gini juga dong, Din."

Sepertinya manusia yang kadang bener kadang error itu nggak mau membiarkanku pergi begitu saja.

"Gue ada kerjaan dadakan. Sori, nggak pamit ke lo dulu," sahutku bohong. Aku bergerak ke dapur mengambil air minum. Kabur dari tempat Ribel membuatku kehausan.

"Yakin lo?"

Well, Nando nggak akan percaya begitu saja. Apalagi di saat yang sama Ribel pun menghilang. Omongan lelaki itu yang katanya akan mengurus Nando ternyata bullshit, nyatanya begitu pulang aku sudah kena semprot.

"Yakinlah," ujarku setelah berhasil menghabiskan satu gelas air putih. Lantas bergerak menuju kamar, Nando masih betah mengekoriku.

"Kerjaan apa yang dilakuin semalaman? Yakin lo nggak bareng sama Ribel?"

"Kenapa gue mesti sama dia?"

"Gue nebak aja, sih."

Aku berbalik dan melotot padanya. "Dan tebakan lo salah. Sangat salah," ucapku tegas. Aku nggak mau dia curiga apa pun tentang Ribel. Bisa-bisa dia mengataiku menjilat ludah sendiri.

"Oke." Dia tampak menghela napas panjang. "Gue tau sekarang lo udah cerai. Dan gue nggak ngelarang lo dekat dengan siapa pun. Tapi tolong jaga martabat lo. Ingat juga lo itu masih dalam fase menunggu. Jadi, harus bisa jaga diri."

Aku mengangguk lelah. "Ya, gue paham."

"Lo udah dewasa, nggak perlu lah gue ngomong panjang lebar."

Kenyataannya dia sudah ngomong panjang lebar.

"Ya udah, gue harus ke Bandung sekarang," katanya lagi seraya beranjak mengambil ransel yang sudah dia siapkan di atas sofa.

"Emang lo udah ketemu mama?"

"Udah. Makanya gue balik. Cuti gue habis." Dia menyampirkan ransel lalu mendekatiku lagi. Sebuah kartu dia angsurkan padaku. "Kartu nama Bagas. Dia minta lo hubungi dia."

Aku menerimanya dan menatap kartu itu sekilas. Nggak terlalu antusias. Pesona Bagas tidak sekuat dulu.

"Oke."

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now