3. Tidak Sesakit Dulu

71.2K 1.7K 23
                                    

TIGA BULAN KEMUDIAN

Bunyi derak pintu patah tidak aku hiraukan. Langkahku bergegas masuk, melewati pintu yang engselnya mungkin sudah putus. Dadaku bergemuruh, bahkan tubuhku terasa panas dan ingin segera menumpahkan amarah yang sudah menggelegak.

Aku langsung menuju kamar utama dan dengan kasar menendang pintunya kuat-kuat.

Dua orang yang tengah banjir keringat di atas ranjang sontak terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Di tengah emosi yang menggunung perutku mual melihat adegan wanita yang sedang ditunggangi seorang pria. Yang sialnya pria itu adalah suamiku sendiri. Oh, entah dia masih bisa disebut suami atau bukan. Padahal baru seminggu lalu dia memohon rujuk di bawah kakiku. Dan, lihat, apa yang dia lakukan sekarang?

Wanita murahan di atas ranjang kalang kabut. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Sementara suami berengsek itu, memungut boxernya yang sudah terlempar jauh dan segera mengenakannya.

"Din, a-aku bisa menjelaskan." Dia mendekat dan hendak meraih tanganku, tapi dengan cepat aku melangkah mundur.

"Aku rasa ini bukti yang cukup agar hakim bisa mengetok palunya dengan cepat," ujarku masih menahan emosi.

Selama ini aku tahu dia gemar main wanita. Tapi aku nggak punya cukup bukti untuk mengajukannya di pengadilan. Gugatan cerai yang aku layangkan selalu ditolak, alasannya suamiku melakukan kewajibannya dengan baik. Sejak itu aku memutuskan pisah rumah.

Baru seminggu lalu dia memohon agar aku kembali ke rumah. Merayu dan berjanji akan berubah. Namun, kenyataannya? Dia sukses membuatku makin muak melihat wajahnya.

"Aku nggak mau cerai, Din. Aku butuh kamu."

Ya, dia hanya butuh uangku, tapi nggak pernah mencintaiku. Beruntung selama tiga tahun pernikahan, kami tidak dikaruniai seorang anak. Jadi, tidak perlu banyak pertimbangan untuk menendangnya dari hidupku. Namun lagi-lagi pengadilan selalu membelanya. Baary, suami bajingan itu menolak untuk bercerai.

"Kamu butuh uangku buat bayar pelacur itu!"

Aku keluar dari kamar sialan itu. Kalau bisa ingin rasanya menghancurkan kamar itu sekarang juga. Demi Tuhan, itu kamar kami, bisa-bisanya dia membawa wanita lain di kamar itu!

"Din, itu aku bisa jelaskan ... Kejadiannya nggak seperti yang kamu pikir." Baary mengejarku, tidak peduli kondisinya yang masih hanya mengenakan boxer.

Entah sudah berapa kali juga aku memaafkan kelakuannya, tapi kali ini jangan harap.

"Kamu bisa bicara dengan pengacaraku nanti." Aku makin bergegas keluar rumah melewati pintu yang sudah kuhancurkan.

"Din, kamu menghancurkan pintu rumah kita?!"

Mendengarnya menjerit aku menoleh sesaat, lalu kembali melangkah menuju mobil.

Bisa-bisanya dia masih memikirkan pintu yang hancur? Apa dia tidak pernah berpikir gimana perasaanku yang hancur melihatnya mendesah dan mengerang di atas wanita lain?

Aku sudah menyalakan mesin mobil ketika Baary menggedor pintu mobilku, memintaku bicara padanya. Aku tidak peduli dan melajukan mobil keluar dari halaman rumah terkutuk itu. Mengabaikan teriakannya yang terus memanggil namaku.

Dulu saat pertama tahu dia berbuat curang mungkin aku syok, stres, bahkan sampai tak nafsu makan. Namun itu tidak berlangsung lama karena aku dipaksa untuk terus bekerja yang melibatkan kinerja otak.

Aku mengesampingkan rasa sakit dengan melebur bersama tugas-tugas yang bosku berikan. Bahkan rasanya aku tidak diberi jeda untuk sekedar meratapi diri. Beruntung aku tidak jatuh sakit dan drop. Entah mental apa yang aku punya saat itu.

Under Cover (THE END) Where stories live. Discover now