|| 34 || I Have no Rights

14.8K 2K 85
                                    


Happy Reading, uy!
Tandai kalo ada typooooo

•••

Zavier terus mengusap tengkuk Naresh dengan lembut. Memperhatikan dengan seksama sosok sang adik yang melamun sejak tadi. Sorot mata remaja kecil itu tampak kosong, dan wajahnya sedikit sembab.

"El, tolong lihat Kakak," pinta Zavier. Lelaki itu menyentuh pipi tirus Naresh dengan jari telunjuknya.

Naresh melirik sang Kakak sekilas, namun tetap bungkam. Zavier menghela napas. Ia tak mengerti kenapa Naresh bertingkah seperti ini sejak bangun dari koma beberapa jam yang lalu.

Pada akhirnya, Zavier memilih untuk menarik Naresh ke dalam dekapannya dengan hati-hati. Menyandarkan kepala Naresh ke dadanya dengan lembut, mencoba menghindari menyentuh nasal cannula yang terpasang apik di hidung sang adik.

Naresh tak menolak. Remaja itu menyentuh tangan Zavier yang kini mengusap perutnya. "Kak..." panggilnya pelan.

"Hm?" Zavier menunduk.

Naresh memejamkan mata. "Naresh ingat..." bisik nya. "Naresh ingat trauma itu," lanjutnya dengan napas tercekat.

Zavier menegang. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. "Trauma itu? Kejadian ketika El masih kecil?" batinnya terkejut.

"Hiks Kak..., Naresh ingat. Kenapa rasanya sesakit ini, ya?" tanya Naresh parau. Air matanya kembali menetes.

Naresh Al tidak mengalaminya secara langsung, namun hanya dengan melihat ingatan Naresh El saja ia merasa sakit amat sangat. Seberat apa beban yang El tanggung selama ini? Trauma itu masih ada, belum sembuh, atau mungkin tidak akan pernah. Dilecehkan oleh Kakaknya sendiri? Kakak yang bahkan saat itu paling El percayai dan sayangi.

Kalian tahu? Trauma itu tidak bisa sembuh, pengobatan pada mental bahkan hanya membuatnya membaik saja, tidak sembuh sepenuhnya. Sama halnya luka pada hati, luka itu mungkin sembuh, namun bekasnya tak akan pernah hilang, membuat kamu sulit untuk melupakan sakit yang pernah dirasa. Kamu tidak akan bisa menyusun kembali kaca yang sudah pecah menjadi utuh kembali seperti sebelumnya, bukan?

Zavier mengeratkan pelukan. Lelaki itu mengecup puncak kepala Naresh beberapa kali. Sebenarnya, Zavier tidak secara jelas mengetahui kejadiannya seperti apa, ia hanya mendengarnya dari Avi saat itu. Namun hal yang sangat Zavier mengerti adalah, adiknya dilecehkan, dan psikisnya terguncang hingga harus bertemu psikiater tiap minggunya. Bocah itu trauma, sangat.

"Kak..." panggil Naresh lagi.

"Kakak dengarkan, El."

Naresh meremas tangan Zavier yang bertaut dengan tangannya. "Naresh kotor, ya?" tanyanya.

"No! Kamu tidak kotor!" bantah Zavier keras. Lelaki itu melepaskan pelukannya, dan memegang pundak Naresh. Memaksa Naresh untuk menatap matanya. "Kenapa berbicara seperti itu? El tidak kotor, tidak sama sekali," ucapnya seraya menggelengkan kepala.

"Tap--ah..." Naresh mengernyit dalam, tangannya meremas bagian dada dan sedikit menekannya di sana. "S-sakit, Kak..." bisiknya dengan napas tertahan.

Zavier terbelalak. Dengan cepat lelaki itu menghentikan Naresh yang mulai memukul dadanya sendiri. "Hentikan, jangan memukulnya." Zavier mengelus pelan dada kiri Naresh.

EXTRA REVENGE: Naresh Al.El GanendraWhere stories live. Discover now