1. Mati Konyol

162K 7.8K 197
                                    

Lusinan buku dari berbagai genre tertata rapih dalam etalase. Beberapa sengaja di susun pada meja dengan papan best seller menjadi daya tarik utama. Sebagian orang menganggap tempat ini membosankan. Sebagian yang lain datang ke sini hanya untuk mengambil unsur aestheticnya saja. Yang kemudian diunggah ke media sosial.

Biar dibilang pintar mungkin. Atau ada alasan lain? Entahlah, Ziya tak memperdulikan pikiran orang-orang itu.

“Sekarang novel transmigrasi kerajaan lagi booming lho. Lo nggak mau buat?” ucap Karin. Sahabat pena Ziya.

“Nggak deh. Nggak minat.”

“Laku keras lho di pasaran. Cuan tau. Liat nih rekening gue. Semua ini dari satu novel genre romance kerajaan.”

Gadis bermata hazel itu menoleh. Ia sedikit membelalakkan mata sebelum kembali datar. “Yah, berarti itu rejeki lo.”

“Mau sampai mati gue nggak akan bisa buat novel jenis begituan. Nulis itu bukan cuma tentang nyalurin halu. Tapi harus ada referensi dan lain-lain. Atau seenggaknya pengalaman pribadi. Uh! Aku paling males nyari referensi tentang sejarah.”

“Aduh Ziya, lo jangan kaku banget deh jadi penulis. Sekali-kali cacat logika nggak masalah. Yang penting lo tau batasan. Toh, genrenya juga fantasi. Fine, fine aja gue mah.”

“Nggak, gue tetep sama prinsip!”

“Hah, susahnya ngomongin penulis aliran misteri ini.” Karin melirik teman sesama penulisnya yang sedang mencari sesuatu di gerai buku. Cukup disayangkan, temannya—Ziya Morgiana—penulis famous pada masanya. Dia yang pernah menapaki tangga kesuksesan melalui novel misteri. Kini dipaksa redup oleh perkembangan zaman.

Ziya itu keras kepala. Dia juga idealis. Itu sebabnya Ziya tidak mau mengikuti permintaan pasar dan kekeuh menulis sesuai keinginan. Padahal Karin sangat tahu betapa indahnya pemilihan kata yang dituangkan dalam setiap karyanya. Tak banyak orang yang tau. Karyanya tertumpuk oleh deretan novel bertema transmigrasi yang saat ini sedang viral. Karin pikir, dengan membujuknya Ziya bisa berbelok sedikit dari prinsip. Ternyata susah juga.

“Ziya… sorry, gue nggak bisa nemenin lama. Gue ada janji ketemu sama Mbak editor,” ucap Karin setelah mendapat notifikasi pesan yang menginformasikan editornya telah sampai di café tempat janji temu.

“Hum, oke. Good luck ya.”

Hendak pergi. Karin teringat akan satu hal. Mungkin saja, Ziya akan berubah pikiran. Ini adalah usaha terakhirnya.

“Nih!” ucap Karin. Menyrahkan novel tebal dari dalam tas.

“Apa ini?”

“Novel yang katanya nggak bisa lo garap. Baca dulu aja. Mungkin lo bakal terinspirasi.”

“Hah, udah gue bilang kan. Gue nggak bis—“

“Dah ya, Bye!”

“Woi! Tck! Makin berat aja bawaan gue,” dumal Ziya. Ia melirik novel dengan sampul menarik itu. “Hah, terserah deh.”

Kawasan Ibu kota dengan segala kesibukan di jam kerja. Lalu lalang kendaraan roda dua dan empat memenuhi ruas jalan. Ziya duduk di halte bus sambil menunggu angkutan. Menyantap es krim mangga di tengah cuaca terik.

Hari ini, sebenarnya Ziya hanya ingin mencari bahan pokok makanan untuk persediaan di kosan. Tapi karena lokasi supermarket dekat dengan gerai buku apa salahnya mampir kan? Sekaligus me-refres otak. Dan secara kebetulan Ziya bertemu dengan Karin. Teman sesama penulis yang satu kampus dengannya.

Hidup di kota besar membuat Ziya harus memutar otak supaya tak memberatkan beban orangtua.  Hanya dengan menulis Ziya memperoleh royalty yang bisa ia gunakan untuk uang saku sehari-hari. Tapi sepertinya akhir-akhir ini agak sulit.

DUKE! Let's Have Babies! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang