20. Tamu Tak Diundang

40.3K 3.5K 10
                                    

Usai sudah dilema hati. Bunga-bunga kembali bermekaran setelah diterpa badai tak bertuan. Ziya duduk di antara bunga Lily. Memandang teduh. Tak percaya, semuanya akan selesai begitu mudah. Benang kusut yang waktu itu seolah bisa membuat Ziya bersumpah akan kabur setelah pulang dari pesta. Kini telah terurai tanpa sedikit pun maaf terucap langsung.

Entahlah, Ziya hanya tersentuh saja. Saat Lukas mempersilahkan pundak untuk bersandar. Waktu itu, Ziya pikir apa yang menghantam kepalanya. Sungguh! Itu sangat keras. Yah… tapi ini bukan tentang fisik. Ziya menghargai niat tulus Lukas.

Pandangan Ziya beralih ke kedua lutut. Di balik dress santai itu tersimpan koreng yang sudah diolesi salep khusus luka. Tadi pagi Rahel membantunya. Tentu saja dengan mulut tak berhenti komat-kamit. Menceramahi Ziya bagai cerewetnya sang betina rumah tangga.

Luka ini masih basah. Setiap gerak akan menimbulkan sakit. Namun semua itu tak menyurutkan niat Ziya untuk singgah ke taman Lily.

Bukannya Ziya ingin mewujudkan kebiasaan Lilyana yang menyukai taman ini seperti dalam novel. Lebih dari siapa pun Ziya melaknat takdir Lilyana. Tapi memang di sini sebagus itu untuk menyerap energi negatif. Ziya selalu dibuat tenang. Ya setidaknya ketenangan itu tidak akan pergi dan digantikan suasana canggung oleh dua orang ini.

What the hell about them?!

Empat orang dengan pakaian formal prajurit tengah siaga di setiap sudut taman. Dengan atribut lengkap itu, mereka pikir tempat ini sarang teroris atau bagaimana? Dibanding santai Ziya seperti digrebek oleh FBI.

"Ku kira dia orang yang fleksibel. Ternyata kaku juga ya?" gerutu Rahel. Ternyata tak hanya Ziya yang terganggu. Rahel pun merasakan hal yang sama.

"Kau tidak menyukainya?"

"Sangat tidak suka!"

"Kenapa?" tanya Ziya. Dalam hal ini Ziya menemukan keanehan di antara mereka. Saling diam dengan tatapan tajam. Seolah ada gladiator khayalan yang di dalamnya hanya ada mereka dengan perkelahiannya.

"Dia menyebalkan," jawab Rahel. Tak memberi banyak alasan. Sepertinya kebencian itu terukir dalam.

Helaan nafas samar terdengar. Datang dari pemilik wajah judes namun menyimpan banyak perhatian. Rahel mensahut nampan berisi cangkir beserta poci. "Nyonya, aku akan menyedu teh lagi," ujarnya inisiatif. Walau sejenak saja, Rahel ingin terbebas dari udara yang dihirup oleh laki-laki bernama Arnold di sana.

"Tidak perlu. Aku bisa bolak-balik kamar mandi kalau minum teh kebanyakan. Lebih baik kau ambilkan biskuit saja."

"Baiklah."

Untuk beberapa alasan Ziya memandang punggung kecil itu. Seperti dugaan. Saat melewati Arnold, dia tak menyapa sedikit pun. Begitu pula Arnold. Dia malah buang muka ke sembarang.

"Dasar, sebenarnya kenapa sih dua orang itu? Kayaknya belum pernah ngobrol tapi kok udah musuhan aja."

Ziya kembali memandang putih bunga Lily membentang sepanjang taman. Tak sedikit waktu terbuang memikirkan tindakan Lukas kemarin. Monolog waktu itu juga semakin menimbulkan tanya.

“Sebenernya dia suka sama Lilyana nggak sih?”

“Kok ucapannya kemarin kayak… hais! Bisa-bisanya dia berhenti. Ngapa nggak dirampungin sekalian sih. Ish! Bikin kesel aja!”

Satu Lily tak berdosa menjadi objek pelampiasan. Ziya menampar kelopak Lily itu sampai layu. Mulut seranum ceri itu tak luput membuka dan menutup. Mendumel panjang kali lebar.

“Hah, andai tadi pagi aku nggak bangun kesiangan. Mungkin aku bisa ngintilin Lukas ke camp pelatihan.” Ziya berkacak pinggang. Seringai mengandung ide tengil itu mengembang sempurna. Ah, lagi-lagi betina ini akan berulah. “Kan nggak masalah nyusul suami sendiri ke camp pelatihan? Toh, nggak jauh ini.”

DUKE! Let's Have Babies! (END)Where stories live. Discover now