46. Cahaya Harapan

24.3K 2.5K 51
                                    

Di penjara bawah tanah. Tempat bagi kriminal hukuman mati menunggu waktu eksekusi.

Wendy menuruni satu per satu anak tangga. Seorang penjaga membantunya dengan menuntun tangan Wendy.

Semua tidak akan berjalan tanpa kehendak uang dan kekuasaan. Begitulah realita. Dan Wendy punya keduanya. Setidaknya semua itu akan hilang setelah lewat hari ini. Mungkin hal itulah yang membuat sipir ini tergoda dan menerima satu kantung berisi koin yang tak terhitung jumlahnya.

Hidung Wendy menerima aroma tidak sedap dari penjuru arah. Ia langsung mengkibas-kibaskan tangan sebelum mengambil sapu tangan dan menutup hidungnya.

Mungkin ada yang bertanya kenapa Wendy tidak dikurung seperti Lilyana. Jawabannya karena Antonio masih memandang Wendy sebagai teman dan juga cinta pertamanya. Sehingga Wendy bisa tidur nyenyak di kasur empuk dan lolos dari malaikat maut.

Langkah Wendy berhenti sejurus dengan si sipir menghentikan langkah. Dia mengarahkan obornya ke satu sel tahanan dan saat itu lah Wendy dibuat miris dengan keadaan Lilyana. Orang yang secara harfiah adalah menantunya.

"Tinggalkan kami," titah Wendy.

Sipir itu membungkuk singkat kemudian melenggang pergi. Wendy menatap prihatin pada menantunya. Dia pernah berwajah sombong menyuruh Wendy beristirahat. Tapi sekarang lihatlah dia.

Baju kusam, rambut acak-acakan. Punggung yang kian menciut. Satu hal yang masih tampak memikat hanyalah bola mata biru itu. Sesuatu yang dianggap langka di negeri ini. Jika ada pengoleksi nakal. Wendy yakin bola mata itu akan dipajang di suatu tempat. Ya, begitulah kira-kira akhir dari tubuh si pengkhianat. Tak ada yang peduli. Bahkan tubuhnya tak dikuburkan. Dibuang begitu saja di hutan.

"Di mana letak kesombongan mu, Nona Lilyana? Kau tampak menyedihkan."

"Yah, memang, penampilan ku berantakan. Tapi... aku punya kebanggaan sebagai keluarga Trancy. Jika aku mengemis ampun. Itu artinya aku percaya Lukas telah memberontak." Ziya beringsut dari posisi duduk dan berjalan mendekati Wendy. "Aku percaya Lukas tidak pernah memberontak!"

Ungkapan itu seperti penghinaan untuk Wendy. Sekaligus singgungan. Mengingat dirinya tak menerima perlakuan buruk sejauh ini. Dia bersedekap tangan. Menaikan dagu. "Sepertinya keputusan ku salah mendengarkan pelayan rendahan itu."

"Pelayan?" sahut Ziya kebingungan.

"Kau pasti sangat terharu. Ya! Pelayan kesayangan mu datang."

Mata Ziya membelalak. Bibirnya bergumam satu nama. "Rahel."

"Di mana dia sekarang?" pungkas Ziya lagi.

"Tck! Sudah ku usir."

Tubuh Ziya sedikit mengendur. Ah, syukurlah. Batinnya dalam hati. Datang ke istana sekarang sama saja bunuh diri. Ziya beruntung bisa mengusir Rahel sebelum titah istana dijalankan. Sebab, mengingat kedekatan Ziya dan Rahel. Ziya takut Rahel ikut terseret juga.

"Pelayan mu sama angkuhnya dengan mu! Sudah tahu bahaya. Justru menantang dewa kematian datang ke istana. Kau tahu apa yang dia lakukan?" Wendy menaikan kain beludrunya yang merosot. "Dia memohon pada ku untuk menyelamatkan mu. Ku pikir aku sedikit bersimpati dengannya. Makanya aku datang kemari." Wendy terkekeh sinis. "Ternyata diperlakukan seperti ini tidak menbuat ego mu mereda ya? Aku sungguh terkesan. Kau orang yang keras kepala!"

"Aku jadi berpikir dua kali untuk menyelamatkan mu."

"Terimakasih atas kepedulian ibu yang terkesan dipaksakan itu. Tapi... aku tidak ingin diselamatkan." Ziya menarik nafas dalam. "Sudah ku putuskan. Aku... akan menyusul Lukas. Entah bagaimana Ibu menjalani hidup nanti. Ku harap, Ibu tidak melupakan ku." Ziya tersenyum. Begitu tulus dan penuh arti. "Aku tidak pernah merasakab bentuk kasih sayang dari seorang Ibu. Ibu ku selalu mengacuhkan ku dan menganggap ku aib. Hanya di kediaman Trancy. Aku punya sosok Ibu yang terus mengganggu ku. Bahkan menceramahi ku panjang lebar."

DUKE! Let's Have Babies! (END)Where stories live. Discover now