49. Kebebasan Bersyarat

26.2K 2.3K 22
                                    

Seminggu berlalu. Pintu yang mengurung Ziya akhirnya terbuka lebar. Dua pelayan menyambut di kala mentari sedang malu-malu beranjak.

“Selamat pagi Nyonya, sudah lama tidak berjumpa.”

Pandangan Ziya belum tuntas merampungkan alam bawah sadar. Samar terlihat. Namun, Ziya mengenali suara baritone laki-laki parih baya ini. “Kepala pelayan ya?” ucap Ziya seraya mengucek mata.

“Ya, Nyonya. Senang bertemu dengan anda lagi,” tunduk si kepala pelayan.

“Hum, aku juga,” jawab Ziya datar. Ia hendak merebahkan diri lagi. Sebab, bagi Ziya yang dikurung seminggu. Suasana ini masih terlalu pagi untuk tubuhnya beranjak dari kasur dan berakhir bengong sepanjang hari.

“Saya mengantar sarapan untuk Nyonya."

"Hum, taruh saja."

Biasanya Licht yang akan datang dengan senyum palsunya. Membawa sarapan dan menemani Ziya makan. Terkadang Licht akan menemani Ziya seharian saat mual dan pusing menimpa. Selalu seperti itu dan tak pernah absen sekali pun. Sekarang Ziya benar-benar dibuat bingung dengan manusia itu. Teman kah? Lawan kah?

Kali ini ada kepala pelayan dan satu lagi pelayan wanita yang sekilas Ziya lihat tadi. Ah, mungkin karena sesuatu yang tidak boleh Ziya lihat di balik pintu itu sudah dibereskan.

Entahlah! Ziya sedang tidak ingin berpikir. Tiap kali otaknya menerima beban. Perutnya mulai kontraksi. Sehingga Ziya memilih tidak terlibat menyangkut apapun yang dilakukan Licht. Ya! Ziya hanya perlu fokus dengan kondisi kesehatannya.

Ini memang berat. Tapi bukan berarti Ziya menyerah. Sebab, ada dua nyawa yang mengorbankan hidupnya demi janin ini.

"Lukas.... Ibu...." gumam Ziya di balik selimut tebal menutupi dirinya. Gurat kesedihan kembali tampak. Eksistensi air mata mulai menggenang. Ah, lagi-lagi pagi ditemani air mata.

Suara derap langkah mendekat. Ziya abai. Ia semakin mengeratkan peluk pada gulingnya.

"Wah, menyedihkan sekali Nyonya ku."

Mata Ziya spontan membulat. Suara ini kan....

Selumut itu disibak. Menampakan rambut awur-awuran dan mata biru yang masih sembab. "Rahel?"

"Sudah lama ya, Nyonya."

"Raheeeel!" Ziya menghambur memeluk Rahel. Sebuah tangis kembali pecah. Bukan tangis pengiring kesedihan tapu tangis pembawa haru.

"Syukurlah kita bisa bertemu lagi," sambung Ziya haru.

"Ya, Nyonya. Syukurlah," sahut Rahel dengan nada rendah. Ia eratkan peluknya. Seakan tak ingin lepas lagi. Ah, tapi sepertinya mustahil.

"Nyonya," ucap Rahel sembari melepas pelukan mereka. "Untuk sementara aku akan mengurusj kebutuhan Nyonya sampai Nyonya menemukan pelayan pribadi yang baru."

"Cuma sementara?" sergap Ziya dengan tampang lesu.

"Hum," jawab Rahel. Dia tersenyum mengejek. "Apa sebegitunya Nyonya tidak bisa lepas dari ku? Wah, aku jadi tersanjung."

"Tck! Lupakan!" dengus Ziya.

Seperti biasa. Dua betina ini akan adu mulut hanya karena masalah sepele. Apa itu etika. Jika sudah bertemu, keduanya seakan lupa hirarki vertikal. Saling bercengkrama, saling mengolok dan bercanda layaknya sahabat. Sampai-sampai melupakan si kepala pelayan yang saat ini entah harus berbuat apa. Hingga akhirnya dia memutuskan pergi setelah pamit yang pastinya tidak didengar oleh dua betina itu.

"Ah iya!" sahut Ziya setelah meredam adu mulut. Ziya mengusap perut datarnya. "Berapa usia kehamilan mu?"

"Emh... kemungkinan mendekati tiga bulan. Sepertinya anak ini mengerti keadaan. Dia tidak rewel sama sekali."

DUKE! Let's Have Babies! (END)Where stories live. Discover now