36. Sandiwara Semesta

33K 2.7K 31
                                    

Dingin. Angin pembawa kristal-kristal salju mulai berhembus ke dataran ini. Kabut tampak pekat. Mentari tak bersinar terang di pagi ini.

Ini adalah hari yang cocok untuk rebahan di ranjang. Dengan coklat panas di nakas dan beberapa remah biskuit jatuh mengotori sprei. Yah, sekali-kali melanggar etiket tidak masalah kan?

Sayangnya, itu tak terealisasi dengan baik. Hanya sekedar angan-angan tertahan. Sebab, kawan ngobrolnya yang juga suaminya. Saat ini tengah sibuk di ruang kerja.

Ziya memandang datar ke arah jendela. "Masih ada sepuluh hari sebelum Lukas pergi." Ziya terkekeh. "Bener ya ternyata. Waktu itu bakal berjalan cepet kalau dihabiskan sama orang yang tepat. Nggak kerasa kalau sebentar lagi Lukas...."

Kata itu tertahan. Ego kembali memguasai. Setitik ketidakrelaan kembali.

"Hah! Apa-apaan Ziya! Kamu harus ikhlas. Ini tugas negara. Sama kayak ibu-ibu persit yang ditinggal suaminya tugas. Kamu harus tabah kayak mereka."

Ziya berdiri di atas ranjang. Mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Yuk semangat yuk. Kamu bisa Ziya. Harus bisa!" Setelah itu dia turun. Mengambil selendang guna membalut dress atasnya yang agak terbuka. Yah, lagi pula terlalu ribet ganti baju. Mending pakai dress tidur anti ribet ini.

"Ke tempat Lukas deh," gumamnya seraya mensahut satu biskuit dan melahapnya.

Koridor dengan karpet merah Ziya tapaki. Pemandangan klasik ini sudah tak mampu membuat Ziya heran lagi. Seperti di awal. Ziya sampai tidak bisa mengatupkan bibir sangking takjubnya.

Tak pernah terpikir dalam benak Ziya bahwa hidupnya akan berubah drastis. Dulu, saat di dunia sana. Jangankan hidup berkecukupan. Makan saja Ziya harus memutar otak guna mencari ide tulisan yang bisa menyenangkan pembaca. Agar novelnya laris.

Sekarang?

Tinggal menyuruh pelayan. Makanan sudah tersedia. Emh, Ziya tidak tahu pasti berapa banyak kekayaan Lukas. Tapi... Ziya pikir dia sangat kaya. Mengingat daerah kekuasaannya saja luas sekali.

"Kalau kayak gini berasa jadi istrinya konglomerat deh. Hihi," monolog Ziya.

Barisan anak tangga tak lagi dituruni. Ziya berhenti di tengah-tengahnya. Menatap lukisan besar yang baru-baru ini sengaja dipasang.

Pipi putih itu berubah warna. Menjadi semu kemerahan. Bibirnya mengulas senyum paling indah. Seolah tak tersirat satu kesedihan pun dari wajah cantik itu.

"Untung aja kamera sama printer belum ditemuin. Aku takut mansion ini penuh sama poto ku."

Seminggu yang lalu. Entah ada angin apa. Lukas ngotot membuat lukisan Ziya. Rencananya akan dia pajang di ruang kerja.

Merasa tidak adil. Ziya pun meminta si pelukis untuk membuat satu lagi lukisan Ziya bersama Lukas. Dan berakhirlah lukisan itu di sini. Tepat di depan ruang utama. Siapa pun yang masuk lewat pintu utama akan disuguhkan langsung dengan potret lukisan besar ini. Sedangkan lukisan Ziya ditaruh di ruang kerja Lukas. Katanya sih untuk penyemangat. Begitulah.

"Dasar, tau gitu aku juga minta pelukis buat satu lukisan Lukas. Biar bisa ku pandangi terus di kamar. Hehe."

Seseorang tak sengaja tertangkap indra penglihatan. Sosok yang akhir-akhir ini tampak murung. Percayalah, Ziya sudah berusaha menghibur. Namun tetap nihil. Menambah keyakinan Ziya jika wanita itu sedang dilanda kegundahan.

Yah, sebab, biasanya sorot mata Rahel selalu datar terkesan tidak peduli. Walaupun begitu kilau semangat tak pernah redup dari dua manik coklat itu. Ziya yang paling tahu, Rahel adalah orang pemilik ambisi paling besar.

Belakangan ini Ziya menemui keraguan. Kilau semangat itu meredup. Seolah seseorang telah membawa kabur semangatnya. Ziya tidak ingin sok tahu. Tapi melihat teori cocoklogi. Sepertinya Rahel merasa kesepian ditinggal Arnold.

DUKE! Let's Have Babies! (END)Where stories live. Discover now