40. Rahasia Langit

26K 2.4K 45
                                    

Dua melambangkan sepasang. Namun sayang, walaupun demikian, di ruang berlapis cat cream ini sepasang yang tengah duduk berhadapan bukanlah dua orang yang ditakdirkan bersama. Semesta punya cara lain menyebut mereka.

Tidak terbalas, bertepuk sebelah tangan, atau sebatas teman. Yah, itulah yang dipikirkan Ziya. Tapi sepertinya tidak berlaku untuk Zayan.

Seminggu sejak surat terakhir dikirimkan dengan effort yang luar biasa niat. Jauh-jauh ke mansion keluarga Trancy hanya untuk mengantar surat. Ah, sepertinya dia lebih pantas jadi pengirim surat dari pada menyandang gelar Count. Dan yang tidak habis pikirnya lagi. Dia tetap mengirim surat setidaknya dua hari sekali. Walaupun dia tahu surat itu tak akan terbalas.

Terganggu?

Sudah pasti kan?!

Ziya wanita yang sudah bersuami. Memang pantas seorang laki-laki terus menghujaninya dengan tumpukan surat terus menerus? Mohon maaf! Tapi Ziya bukan Lilyana. Ziya tebak, Zayan tidak sadar batasan karena Lilyana tidak tegas memberi label bahwa dia hanyalah teman. Itu sebabnya Ziya mau repot-repot mengundangnya kemari. Bukan tanpa alasan. Ziya akan menegaskan garis yang tidak bisa dia lalui sebagai teman.

Gelas porselin putih menjadi media mencuri lirik. Ziya teguk teh hangat itu seraya melihat sekilas ke Zayan. Jujur, setelah sapa tak ada lagi tanya. Ruang ini membeku se-orang-orangnya. Ziya heran satu hal, apa dia merasa sejauh ini perbuatannya sudah salah? Makanya dia bergeming seperti itu?

Ah! Ziya tidak punya banyak waktu. Kertas-kertas di ruang kerja sudah memanggil tahu!

"Count Zayan," panggil Ziya. "Samar ingatan ku sudah kembali. Setelah membaca buku harian ku."

"Benarkah? Syukurlah." Tak ada raut terkejut. Datar dan biasa. Wah, benar-benar wajah kaum bangsawan.

"Kau terlihat tenang ya? Setelah apa yang kau katakan pada ku terakhir kali."

Terdengar kekehan singkat dibarengi seulas senyum hingga mata itu menyipit. "Yah, aku hanya ingin menjahili mu."

"Kau yakin?" selidik Ziya.

Pudar. Senyum palsu itu menghilang. Digantikan tatapan datar. "Tidak. Aku... tidak pernah bercanda pada mu."

"Lalu? Dengan maksud apa kau mengatakan pernyataan itu saat di penginapan tempo lalu?"

"Sungguh kau ingin tahu jawabannya?"

"Ya."

"Ah, kau jahat sekali. Padahal aku sudah hancur begini." Manik mereka saling bertemu. Layu terasa di tatapan itu. "Aku ingin kau pergi dari rumah ini. Hidup dengan ku dan.... ah, sudahlah. Lagi pula aku sudah menyerah. Kau mengundang ku kemari untuk menegaskan hubungan kita bukan?"

"Hum.... Count Zayan, maaf. Sejak dulu aku menganggap mu hanya sebatas teman. Tidak lebih."

"Baiklah, aku paham."

Tunggu! Semudah itu?

"Waktu kecil aku pernah jatuh dari pohon karena membantu mu mengambil buah."

Ada apa ini tiba-tiba cerita kenangan masa kecil. Yah, ikuti saja dulu lah. Batin Ziya.

"Hum. Aku belum bisa mengingatnya dengan jelas. Tapi... ku pikir pernah ada kejadian seperti itu," ungkap Ziya berdusta.

"Setelah itu kau tidak dibolehkan keluar kamar selama seminggu. Kau dihukum. Ku pikir itu akan menjadi hukuman biasa. Ternyata aku salah. Kau berubah. Kau menjaga jarak dengan ku."

"Lalu.... hal yang membuat ku tercengang adalah ketika kau menangis dan meminta ku tidak memanggil mu Putri Lilyana lagi."

"Sejak itu aku paham posisi mu di keluarga Easther. Aku berjanji pada mu untuk membawa mu kabur suatu hari nanti. Tapi... rupanya semesta punya kehendak lain."

DUKE! Let's Have Babies! (END)Where stories live. Discover now