26. Sepenggal Dusta

35.4K 3.1K 78
                                    

Suara gebrakan terdengar nyaring. Mata Lukas mengikuti kemana kerusuhan itu datang. Bibirnya masih mengatup. Padahal suasana rapat mulai tidak kondusif.

Antara menteri satu dan yang lain. Mereka adalah petinggi negara yang memiliki gelar bangsawan hebat. Tapi sikap mereka justru tak mencerminkan martabat sama sekali.

Di meja panjang ini. Hanya Lukas yang masih kalem sambil menikmati sajian kopi pahit. Yang lain hampir semua saling beradu pendapat. Melantangkan miliknya yang paling benar.

Lukas yakin, dari semua pendapat itu. Tak ada satu pun yang mementingkan urusan negara. Ujungnya mereka akan memanfaatkan rencana kudeta negara Artem ini untuk keuntungan mereka sendiri.

"Sepertinya rapat ini sudah tidak kondusif lagi, Tuan," bisik Arnold.

"Kau benar. Tidak ada gunanya kita di sini."

Menurut Lukas negara ini sudah rusak. Dengan Kaisar yang sembrono, perlahan membawa pada kehancuran. Namun, Lukas masih ingin berusaha. Agar suatu saat tanah kelahirannya ini makmur kembali.

"Kenapa tidak kita kirim saja Duke Lukas? Bukankah keluarga Trancy selalu menangani hal-hal seperti ini?" ucap seorang bangsawan.

"Oh benar juga ya. Seperti dulu saat kerajaan Samud memberontak."

"Kali ini pun kasusnya hampir serupa."

"Ya, ya, ya. Ini memang sudah tugas keluarga Trancy sebagai pedang pelindung."

Mereka terus melancarkan persetujuan. Tanpa boleh Lukas menolak. Seolah dirinya ada untuk menjadi mesin pembantai musuh.

Mau tidak mau. Suka tidak suka. Lukas lagi yang akan mengemban beban ini. Seperti yang sudah-sudah.

Di negara ini hanya Lukas yang bisa diandalkan. Sebagai ujung tombak negara.

"Ku pikir hasil rapat sudah ditentukan," sahut suara bariton. Dia yang menunjukkan wajah tidak peduli sejak awal pertemuan. Kaisar Antonio.

"Duke Lukas. Kau tahu apa yang harus dilakukan bukan?" sambung Antonio.

Lukas berdiri. Membungkuk hormat. Yah, sejak awal Lukas tahu akan berakhir seperti ini. "Pedang ku akan membawa kemenangan untuk mu. Yang Mulia Antonio."

"Ya. Lakukanlah tugas mu. Rapat selesai. Kalian boleh pergi. Ah! Kecuali Marquess Vincent."

Karpet merah dijajaki Lukas dan Arnold. Kordidor dengan banyak lukisan potret kaisar terdahulu menuntun langkah mereka untuk keluar dari istana.

"Aku terkejut tua bangka itu tidak mabuk." Arnold menyunggingkan sebelah bibir. "Terakhir kali dia mabuk saat menghadiri rapat. Benar-benar sesuatu kaisar kita ini."

"Jaga bicara mu Arnold. Kau masih dalam lingkup istana," sahut Lukas.

"Haha, ya, ya. Baiklah. Ngomong-ngomong Tuan akan langsung pulang?"

"Tidak."

"Hm?"

"Aku akan menyusul Lilyana ke pasar."

Bibir Arnold mengembang sempurna. Antara bahagia dan ingin menggoda. "Wah, setelah tiga tahun akhirnya jadi pengantin sungguhan. Sepertinya sebentar lagi aku akan melihat Tuan dalam versi mini. Waah, tidak sabar."

Lukas tak berkomentar. Diam tapi pipinya terpantau memerah. Yah, akhir-akhir ini Lukas memang mempertimbangkan keinginan Lilyana yang terus mendesak punya anak. Tapi.... apakah keinginan itu masih ada? Sebab, Lilyana tidak pernah membahasnya lagi.

Agh! Entahlah!

Roda waktu berputar. Jarak pasar yang tak seberapa jauh membuat Lukas lega. Setidaknya ia tidak harus menahan cemas seorang diri di dalam kereta.

DUKE! Let's Have Babies! (END)Where stories live. Discover now