23. Merpati Putih

39.4K 3.6K 44
                                    

Terik matahari terasa menyengat. Dahaga terasa di ujung tenggorokkan. Kuncup bunga layu dilahap sang surya. Begitu mencubit. Seolah alam memberitahu bahwa manusia tak dapat mengalahkan sang pencipta. Sepintar apapun dirinya.

Keringat bagai bulir air yang jatuh dari stalaktit. Tak berhenti walau berulang kali Ziya berusaha mengontrol degub jantung yang memicu air asin itu luruh.

Genderang telah ditabuh. Dia telah menunjukkan jati diri yang sempat Ziya abaikan tadi.

Ziya menyilangkan kaki. Mengambil gelas porselin dan memangkunya. Setenang mungkin. Sehalus mungkin. Jika tidak. Predator berkedok manusia ini akan menerkamnya tanpa ampun. Sukar diakui. Tapi inilah saat ketenangannya diuji.

"Dari mana kau mendengar?" tanya Ziya. Seingatnya tak ada satupun surat yang keluar untuk mengabari keadaan Ziya pada keluarga Easther. Lukas? Memang dia sepeduli itu?

"Tidak penting dari mana informasi itu ku dapatkan. Yang lebih penting...." Mata itu menyorot tajam. Seolah bisa melucuti kepercayaan diri seseorang. "Bagaimana kau bisa berakhir menyedihkan seperti tadi, Kakak?!"

Ada senyum yang mengembang terpaksa diiringi getar. Ziya mengokohkan diri. Instingnya bilang untuk bertahan. "Aku tahu kau akan datang. Sudah tugas mu bukan, melindungi Kakak mu?"

"Hmm...." Tatapan Licht melunak. "Dari mana kau tahu aku akan datang?"

"Tidak penting dari mana aku tahu. Yang lebih penting prediksi ku tidak meleset," balas Ziya. Telak.

"...."

Bola mata sebiru langit itu tampak membola. Bohong jika Licht tidak terkejut. Tawa gurih mengisi kosongnya suasana. "Wah, aku tidak menyangka lupa ingatan ternyata bisa merubah sifat sesorang ya?" ucap Licht menyudutkan.

Bertahan Ziya! Bertahanlah! Kau harus tunjukkan siapa Kakaknya!

"Entahlah. Di awal aku seperti orang bodoh. Tapi semakin kesini aku menyadari satu hal...." Gantian Ziya yang menatap tajam. Tak lupa dagu itu mendongak tinggi. "Mungkin ini belas kasihan Tuhan. Agar aku tak mengingat semua kenangan buruk di masa lalu dan mulai berherak maju."

"...."

Bibir tipis itu dibaluri saliva. Senyum Licht kembali mengembang. Palsu dan pura-pura. "Syukurlah kau baik-baik saja. Aku kemari hanya mampir. Ada beberapa keperluan di Ibu kota."

Mengalihkan topik. Begitulah yang Ziya tangkap dari respon bocah tampan tapi misterius ini. Yah, dengan begini Ziya menang. Ia juga tidak berniat menambah pelik di saat satu informasi pun tak dia pegang.

"Begitu...." sahut Ziya. Ia berlagak ingin mengambil dessert pai. Bukan karena ingin. Nafsu makan benar-benar hilang total ulah bocah ini.

"Kak," cegah Licht. "Kau tidak bisa makan ini."

"Apa maksud mu?"

Bibir manis itu mengembang sempurna. Bola mata safir tak lagi terlihat. Tertutup oleh kelopak mata. Ciri khas laki-laki ini ketika tersenyum. Matanya akan menyipit.

"Kacang. Ini Pai kacang. Kau tidak bisa memakannya karena alergi."

"Oh begitu," jawab Ziya santai. Padahal dalam hati sudah panas membara. Tahu Kakaknya tidak bisa makan kacang kenapa dia membawakan pai kacang?! Sungguh! Pintar sekali bocah besar ini!

Ziya membuang nafas kasar. Laki-laki ini susah sekali ditebak. Ada di pihak siapa dia. Ziya belum bisa menyimpulkan. Yang jelas, Licht Easther harus diwaspadai!

"Sepertinya perjumpaan kita harus selesai di sini," ujar Licht setelah melihat jam berbentuk kompas dari sakunya. "Aku harus ke Ibu kota."

"Hum, sangat disayangkan tapi... hati-hatilah di jalan."

DUKE! Let's Have Babies! (END)Where stories live. Discover now