12. Di Satu Ruangan

48.9K 4.2K 33
                                    

Ruang kamar tampak monoton dengan perabotan seperti biasa. Di sudut dekat jendela sana ada kursi tunggal dan lemari buku. Jika ada waktu, Lukas sering membaca di sana. Dari pada ke perpustakaan, ia lebih senang membaca di tempat favoritnya sambil memandangi halaman rumah yang tampak hijau membentang.

Besok ia harus ke benteng Foxie. Perjalanan yang cukup memakan waktu sebab lokasinya di perbatasan Negara. Kali ini, mungkin ia tidak akan dibuat pusing dengan tingkah random istrinya yang sedang lupa ingatan. Lukas tidak terbiasa dengan senyum cerah istrinya—seperti waktu itu—di pasar.

“Hah, lebih baik dia bersikap seperti biasa. Aku bingung harus bersikap seperti apa jika dia berubah.” Ditaruhnya jubah hitam itu ke kursi. Satu persatu kancing bajunya lepas dan hanya menyisahkan celana saja. sudah menjadi kebiasaan, seorang Lukas akan tidur tanpa mengenakan pakaian.

Ingatannya tersita oleh perbincangan dengan Arnold tadi. “Penerus ya? Hah, aku tidak pernah terpikirkan sampai sana.” Lagi-lagi kilas balik wajah semangat Lilyana yang meminta hal tabu terlintas. “Tck! Dia bicara semaunya!”

Samar terdeteksi semu merah pipi Lukas. Merasa wajahnya panas. Ia meneguk air putih yang memang sudah tersaji di meja. Sampai habis tak bersisa.

Sesuatu menyita atensi Lukas. Tepatnya di bawah selimut sana. Tadi, ia sempat melihat ada sesuatu yang bergerak. Keningnya mengerut heran. Apalagi ini? Kemarin ada pembunuh bayaran kiriman dari negeri sebrang. Sekarang apa? Wanita? Seperti yang sudah-sudah?

Kadang ada saja wanita bodoh yang berharap akan dijadikan pengganti Duchess jika dirinya berhasil mengandung anak Lukas. “Pikiran bodoh! Kalau pun aku harus punya penerus. Aku tidak akan melakukannya selain dengan istri ku.”

Yah, walaupun mustahil juga mengingat perangai istrinya seperti itu.

Lukas itu orang yang punya prinsip lurus. Karena prinsipnya itu ia dikenal kaku. Seolah semesta ingin bercanda. Ia mendapati rekan seperti Arnold dan istri seperti Lilyana. Mereka berdua membuat prinsip itu seolah melebur entah kemana. Langkah Lukas kian memangkas jarak dengan ranjang. Tangannya terulur untuk membuka selimut. Alih-alih berhasil, Lukas dibuat terperanjat dengan gerakan spontan dari dalam selimut. Reaksinya, Lukas mundur spontan hingga tanpa sadar menyenggol vas hingga jatuh tak berbentuk.

“Umh…” lenguhan itu terdengar. Selimut itu menggeliat semakin intens hingga si pelaku membuka kedoknya sendiri.

“Kau?!” lirih Lukas.

Terpantau gadis berpakaian tidak senonoh ini mengucek mata. Pandangannya mulai jelas dan menyadari Lukas di depannya.

“Haaaa! Akhirnya kau datang juga!” tunjuknya dengan emosi. “Kau tahu aku sudah menunggu mu berapa jam, ha?! Kau pikir wanita tidak akan marah dibuat menunggu selama ini!”

Memang siapa juga yang menyuruhnya menunggu? Ah tidak! Yang lebih penting—apa-apaan pakaiannya itu?!

BRAK!

“Tuan!”

Dalam hitungan detik. Otak Lukas mencerna situasi. Ia menoleh ke sumber suara untuk memastikan. Lalu dengan sigap menutup tubuh setengah telanjang istrinya. Memeluk erat sehingga hanya punggung Lukas yang tampak dalam penglihatan Arnold.

“Kalian… sengaja ya?!" rajuk Arnold. Ia mengacak rambut, kesal. Yah, karena ini untuk masa depan keluarga Trancy. Arnold harus meredam kekesalannya. Cih!

“Baiklah, baiklah. Nikmati waktu kalian berdua. Aku tidak akan menganggu.”

“Kau—“ Bunyi gebrakan pintu terdengar. Arnold sudah pergi sebelum Lukas menyelesaikan kalimatnya. “Salah paham,” lanjutnya bergumam.

DUKE! Let's Have Babies! (END)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن