38. Salju Pertama

30.8K 2.8K 22
                                    

Salju adalah perwujudan ikhlas. Ketika sampai di tanah lapang. Mereka rela meleleh dan kembali menjadi air.

Salju juga adalah perwujudan keangkuhan. Dinginnya seolah bisa menyihir siapa pun untuk tak beranjak dari tempat tidur.

Layaknya salju. Ziya adalah istri yang satu sisi ikhlas merelakan suaminya pergi dan sisi lainnya memendam rasa tidak rela.

Jika diibaratkan, mungkin kedua sisi itu bagaikan sisi kedewasaan dan kekanakan. Sebagai seorang istri, Ziya dituntut lega melepas suaminya mengabdi pada negara. Tapi sebagai seorang wanita, Ziya hanyalah bentuk ketidaksempurnaan mental. Di mana jiwa kekanakannya terus meronta. Beteriak lantang dari lubuk hatinya agar Lukas tetap di sini. Bersamanya. Mengabiskan waktu sepanjang hawa dingin menjajah.

Tapi dari sekian banyak kepingan kekanakan. Hanya butuh satu sisi dewasa untuk mulut Ziya terkatub. Tak menyuarakan keinginan. Bungkam. Mulutnya dipaksa bungkam. Air matanya disumbat. Menyisahkan sesak tertahan.

Semua ini bukan demi Ziya. Tapi demi Lukas!

Dia harus pergi tanpa membawa kecemasan. Dia harus pergi dengan membawa keyakinan bahwa istrinya bisa mandiri. Bahwa istrinya adalah sosok tangguh yang bisa diandalkan. Sudah cukup beberapa tahun lalu Lilyana membuat kesalahpahaman hingga Lukas ikut terseret. Tahun ini, akan Ziya pastikan hal yang sama tidak akan terulang.

Lagi pula, Ziya sudah berjanji. Ia akan belajar menjadi dewasa sebelum Ethan hadir. Menjadi Ibu yang benar-benar bisa mendidik buah hatinya.

Susu hangat mengepulkan asap tipis. Terlihat nikmat. Namun siapa yang menyangka sang pemilik justru lebih tergiur memandangi hamparan putih salju menumpuk di dahan ranting dari jendela kamarnya.

"Nyonya, susunya akan dingin," ucap Rahel.

"Aku tidak berselera."

"Nyonya ingin makan yang lain?"

Di sana Nyonyanya tak bergeming. Terus memandangi jendela. "Aku yakin Duke Lukas akan terkejut melihat Nyonya kurus kering setelah pulang nanti. Ah, kemungkinan terburuknya, mungkin Tuan akan mengacuhkan Nyonya karena tidak menarik lagi," ucap Rahel. Seperti biasa dengan perkataan tajam nan menusuk.

Alih-alih tersinggung. Ziya justru terkekeh. Yah, ia tahu Rahel bersikap seperti itu demi menghiburnya.

"Mau taruhan?" tantang Ziya. Rahel menaikkan satu alis. "Taruhan apa?"

"Lukas akan tetap mencintai ku walau tubuh ku tersisa kulit dan tulang saja."

Rahel melengos. "Tck! Curang. Kalau itu sudah dipastikan Nyonya yang menang."

Terdengar kekehan lagi. Ziya mengulas senyum untuk pertama kali setelah Lukas pergi. "Itu kau tahu."

"Cih! Bikin iri saja," dumel Rahel.

Ziya mendekati susu hangat itu. Ia raih. Hangat terasa di telapak tangan. Lagi, pikirannya disita oleh suaminya.

"Dia.... makan dengan baik tidak ya? Di sana pasti dingin sekali. Di mana dia akan tidur?"

Ah, memikirkan semua itu memang tidak pernah habis membuat Ziya risau. Padahal baru dua hari Lukas pergi. Tapi rasanya sudah lama sekali. Ternyata beginu rasanya rindu.

"Bener kata dilan. Rindu itu berat," gumam Ziya. Memorinya mengulas kembali kepergian Lukas tempo hari.

Mansion tampak putih. Hanya di musim dingin. Mansion yang seharusnya berwarba cream bercampur dongker ini dikuasai putih salju. Halamannya, atapnya dan beberapa semak di pinggir mansion.

Beberapa insan berdiri di halaman mansion. Dengan baju tebal. Dingin benar-benar bisa mencubit kulit mereka.

"Lukas...." panggil Ziya. Udara dingin membuat kepulan asap tercipta disetiap ucap. Ziya menatap lekat manik sehitam malam itu. Redup. Ah, pasti bukan hanya dirinya yang tidak rela. Laki-laki ini pun, jika ia bisa meninggalkan tugasnya. Mungkin akan dia lakukan.

DUKE! Let's Have Babies! (END)Where stories live. Discover now