45. Menjadi Pelengkap

25.2K 2.5K 61
                                    

Ziya tak pernah menyangka takdir begitu ingin menguras air matanya hingga tak bersisa. Hanya cangkang kosong yang kini mengisi tubuh lunglai dengan tatapan kosong itu. Mengisi tempat kotor yang diyakini sebagai hukuman dunia.

Ya, di sinilah Ziya berada. Di balik jeruji besi. Hanya ada satu penerangan di sudut sana.

Kasur lusuh dengan banyak noda menjadi teman tidur Ziya. Kira-kira sudah dua malam termasuk malam ini.

Sebenarnya bagian mana yang salah? Apa semua ini terjadi karena Ziya berusaha mengubah takdir Lilyana? Seharusnya Lilyana tidak dicintai. Tapi sekarang, Ziya mendapat banyak cinta dari Lukas.

"Pada akhirnya Lilyana akan mati," gumam Ziya. Lututnya ia tekuk. Bersandar pada tembok kasar. Matanya menatap langit-langit.

"Ha...haha.... apanya yang merubah takdir? Kau tidak melakukan apapun! Tanpa kau sadari, kau terus berjalan di tempat."

"Tidak berguna!"

"Kau tidak berguna, Ziya!" gumam Ziya lirih di akhir kalimat.

Entah sudah berapa banyak tangis. Berapa banyak rancau dan berapa besar usaha Ziya menganggap semua ini hanya mimpi. Tapi percuma. Ah tidak! Ini mustahil dikatakan mimpi. Ini nyata!

"Lukas...."

Satu lagi bulir air mata luruh. Kelopak itu tak mampu menahan genangan yang terus menerus bertambah. Ah rasanya sesak sekali. Sosok yang seharusnya menjadi satu-satunya penyokong hidup. Kini telah tiada.

Benar!

Lukas sudah tiada. Lantas untuk apa Ziya di sini? Di dunia ini?

"Yah, lagi pula aku bakal dieksekusi." Kepala Ziya bersandar pada tembok kasar. Tatapannya layu padam. Tak ada secercah cahaya sedikit pun. "Aku... apa aku bisa ketemu Lukas di sana?" Dia menoleh ventilasi kecil. Satu-satunya pemandangan luar yang bisa Ziya nikmati.

"Lukas.... tunggu ak--"

Sebuah bunyi menginterupsi. Bunyi asing yang berasal dari benturan kaca dan semen kasar. Ziya menoleh ke kanan dan kiri. Karena bunyi itu terdengar di sekitarnya.

Botol bening dengan cairan itu membuat Ziya termenung sejenak. Ah, benar! Itu adalah alat tes kehamilan yang dua hari lalu diberikan tabib.

Ziya ambil botol itu. Penerangan minim membuat matanya harus bekerja ekstra. Kerut di antara alisnya menjadi dalam.

Memilih pindah. Ziya menuju satu-satunya tempat yang tersorot cahaya. Di luar jeruji besi.

Tubuhnya tak bisa keluar dari rangkaian besi membentuk garis vertikal itu. Namun tangannya bisa. Segenap usaha Ziya acungkan tangannya keluar penjara. Menjangkau tempat tersorot cahaya.

"Jika wine ini berubah warna menjadi coklat kehitaman atau ungu pudar. Berarti Nyonya positif hamil."

Ucapan tabib itu terngiang. Jika benar ada janin di perutnya. Ekspresi apa yang harus Ziya keluarkan?

Bahagia? Tidak! Ini terlalu tragis untuk dikatakan bahagia. Dan juga... apakah Ziya bisa selamat dari hukum eksekusi? Pada akhirnya, janin ini akan ikut mati.

Sorotan cahaya menerpa botol itu. Mata Ziya membola. Harapan dan keputusasaan seolah saling beradu. Sedih dan senang terus bergilir begitu cepat. Hingga Ziya kehilangan arah. Bahagia kah atau sedih?

Sebab, sejak warna kecoklatan pada botol itu terlihat, air mata Ziya mengalir tanpa ampun. Tangisnya semakin menjadi. Tapi bibir pucat itu kadang tersenyum. Sambil mengelus perutnya yang masih rata.

Ziya luruh. Di tengah isaknya, Ziya meringkuk pilu. Memeluk buah hatinya yang bahkan masih berbentuk segumpal darah.

"Selamat datang, Ethan. Ini.... ini suara Ibu yang bahkan tak mampu membuat mu hadir ke dunia."

DUKE! Let's Have Babies! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang