43. Menipisnya Benang Takdir

23.9K 2.4K 55
                                    

Gelap, gumpalan awan menutupi langit terang. Semakin dingin, semakin jatuh ke dasar. Mengoyak mental dan kewarasan. Putih salju terasa kelam, tumpukannya berjatuhan dari ranting oleh sebab angin yang tiba-tiba datang.

Rahel masih di tempat semula. Bersujud, bukan di hadapan Tuhannya tapi di hadapan wanita paruh baya yang sesumbar bisa menentukan hidup mati seseorang.

Dia wanita berkuasa. Dia wanita tegas yang tak peduli apa itu belas kasihan. Hatinya mati. Nuraninya tumpul. Bahkan pada wanita hamil yang kini telah menjatuhkan sisa terakhir harga dirinya. Itu pun untuk kebahagiaan majikannya. Bukan dia.

“Apa yang membuat Ibu setega itu? Yang di hadapan Ibu adalah manusia. Bukan binatang sembelihan!” ucap Ziya penuh penekanan di kata maupun sorotnya.

“Jangan bicara belas kasihan. Kau tahu apa yang sudah Pelayan mu perbuat, hm? Dia melakukan hal hina sampai hamil. Itu bukan perkara remeh.”

Ziya melirik ke arah Rahel. Singkat. “Walaupun begitu dia hanya manusia biasa yang tidak luput dari salah.” Ziya kembali memandang Wendy. Tajam. “Keluarga Trancy bukan Tuhan! Kita hanya manusia yang juga tak luput dari salah. Kesalahan yang dilakukan Rahel, semua itu biarkan Tuhan yang memberinya karma. Dia tidak perlu dihukum mati,” jelas Ziya.

“Ha… haha…. Kau mau merubah peraturan keluarga Trancy yang sudah diwariskan turun temurun? Sejak awal aku punya firasat buruk saat menerima mu masuk ke keluarga ini. Ternyata memang benar! Kau adalah parasit. Perlahan kau aan menghancurkan kediaman ini!”

“Ibu…. Peraturan itu dibuat oleh manusia. Tidak ada hukum yang benar-benar adil. Karena yang membuatnya adalah manusia biasa. Peraturan itu harus dirubah. Harus ada orang yang merubahnya!”

“Kau gila. Kau tidak punya hak. Kau hanyalah—“

“AKU LILYANA TRANCY! Istri dari Lukas Trancy dan…. Duchess kediaman ini!” Dagu Ziya mendongak. Menunjukkan kekuasaan. “Aku punya hak. Ku harap Ibu sadar dan menerima kenyataan bahwa Ibu sudah tidak punya wewenang di rumah ini.”

Wajah itu tampak murka. Merah padam. Terbakar amarah. Suhu dingin bahkan tak dapat mendinginkan kepalanya.

“Kau berurusan dengan orang yang salah Nona Lilyana!” kecam Wendy.

“Suatu kehormatan bisa berurusan dengan mu, Ibu. Mulai dari sini biar aku yang tangani.” Ziya maju dua langkah. Mendekat ke paruh baya itu. “Ibu… istirahatlah. Kau sudah tua.”

Suara gemeretak gigi samar terdengar. Urat kemarahan itu kentara di lehernya. Dengan langkah tegas, Wendy keluar dari ruangan. Ia menghadiahi bantingan pintu yang sudah Ziya prediksi sebelumnya.

“Hah, akhirnya pergi juga,” gumam Ziya sebelum melirik horor ke Rahel. “Kau!” pekiknya. “Siapa Ayah anak itu?!”

Tak menjawab. Rahel memilih melengos.

Geram! Ziya berjongkok. Menyamakan diri kemudian mencubit dua pipi Rahel. Tak tanggung-tanggung. Sangking gemasnya Ziya sampai menarik pipi itu sampai melar. Terdengar keluh dibarengi ronta. Namun tak sedikit pun Ziya pedulikan.

“Cepat katakan!”

“….”

Bungkam, Rahel memilih mengatupkan bibir ketimbang menjawab. Yah, ini adalah aib. Seharusnya Ziya paham itu dan berbicara empat mata.

“Baiklah,” ungkap Ziya paham dengan keadaan. Rahel hanya butuh sunyi untuk pengakuan dosa. Ziya berdiri kemudian berkata, “Semua yang ada di sini. Keluarlah, biarkan aku bicara dengan Rahel berdua."

“Baik Nyonya,” sahut Kepala pelayan yang sejak tadi menyaksikan. Terlebih dialah yang memberitahu Lilyana tentang kondisi genting barusan. diikuti Maya. Eksistensinya seperti angin. Ada namun tak dilihat.

DUKE! Let's Have Babies! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang