24. nengokin januar

70 16 4
                                    

Hari berganti. Siang itu, sepulang sekolah, Yesi bersama dengan Husein dan Reno pergi ke RS Panti Rapih untuk menengok Januar.

Mereka bertiga tampak berjalan dari parkiran menuju ke gedung rumah sakit. Di tangannya, Yesi menenteng keresek berisi buah-buahan yang tadi mereka beli di Mirota Kampus.

Begitu mencari tahu lokasi kamar Januar di bagian informasi, mereka pun pergi ke arah yang dituju.

"Di sini." kata Husein.

Cowok itu lantas memutar kenop pintu dan membuatnya terbuka. Mereka kemudian masuk ke dalam.

Di ruangan perawatan itu, ada dua ranjang. Satu kosong dan satunya terisi. Pasien yang mengisi tampak dibalut perban pada bagian tubuh atas, kepala, sampai wajah. Infus terpasang di tangan dan mata pasien itu tampak memejam.

"Ya ampun, Janu.." Yesi tercekat.

Ia tidak menyangka Januar sampai begini, bahkan sampai seluruh wajahnya dililit perban.

Ia mendekat dan menatap iba cowok yang terbaring lemah di depannya. Ya ampun, Jan..

Hati Yesi rasanya sesak, melihat orang yang dicintai dibuat begini oleh klitih bajingan.

Tiba-tiba ada tangan menepuk-nepuk bahunya. Husein.

"Sabar ya, Yes." katanya.

"Kok gak ada yang jaga yo?" Reno bertanya-tanya, karena di ruangan itu hanya ada Januar.

"Mungkin lagi keluar? Liana bilang kalo ada ibunya tu tadi." Husein lalu mengecek ponsel untuk melihat lagi pesan dari pacarnya itu. Benar, Liana bilang begitu.

Reno mendekat ke arah papan nama yang tergantung di ranjang, dahinya lantas mengernyit, "Kok namanya Akbar? Bukan Janu?"

Yesi dan Husein menoleh ke Reno dan ikut melihat papan nama tersebut.

"Belom diganti paling."

Ceklek!

Pintu tiba-tiba terbuka. Ketiganya menoleh. Muncul seorang wanita berjilbab langsungan yang melempar tatapan bingung pada mereka bertiga, "Temennya.. Akbar?" tanyanya ragu.

"Akbar?"

"Ini Akbar." tunjuk wanita itu ke si pasien.

"Akbar? Bukan Januar Abiyoso?"

"Abiyoso? Bukan, ini adek saya."

Ternyata salah orang.

Mereka bertiga langsung minta maaf dan keluar dari ruangan itu.

"Gimana sih, Huus...!"

"Hooh, gimana e, Hus. Yesi udah mau nangis lho padahal. Malah salah orang. Pffft." Reno tertawa ngakak.

"Lha kalian yang udah lama kenal kok ya gak tau nek itu bukan Janu!"

Mereka pun saling menyalahkan. Memang kalau dari proporsi fisik dan warna kulit, pasien tadi memang sedikit mirip Januar.

*****

Mata Januar menatap kosong ke arah tembok. Masih mencerna apakah ini semua mimpi. Kilasan kejadian berkali-kali singgah dalam pikirannya.

"Bagong ki wes raono, Le. Sing sabar yo.."
(Bagong tu udah ga ada. Yang sabar ya..)

Begitu kata ibunya.

Padahal jelas-jelas kemarin ia mengobrol dengan bocah ndugal satu itu. Aneh sekali. Sulit diterima logika.

"Bayi kok iso pinter ngeneki yo!"

Wanita paruh baya yang duduk di sofa sebelahnya tiba-tiba memekik seraya melihat layar ponsel. Ibunya daritadi sedang menonton video Cipung di YouTube.

"Pengen ndue bayi meneh po?" tanya Januar iseng.
(Pengen punya bayi lagi?)

"Ah, ora. Siji we mumet." jawab ibunya.
(Ah, enggak. Satu aja pusing)

Tok.. tok.. tok..

Pintu ke arah lorong yang dari tadi sudah terbuka memunculkan tiga sosok familer menggunakan seragam SMA. Yesi, Husein, dan Reno.

Mereka masuk dengan malu-malu. Yesi masuk terakhir. Sementara dua lainnya ia suruh masuk duluan.

"Janu.." sapa Reno. "Bude.."

Bude Sari menoleh, "Eh, Reno.. Yesi.. sama.. siapa ini satune? Lupa Bude."

"Husein."

"Iya, Husein."

Ketiganya lalu salim ke Bude Sari.

"Langsungan dari sekolah po?" tanya Bude Sari karena melihat mereka bertiga masih pakai seragam OSIS.

"Enggih, Bude."

Yesi menyerahkan keresek berisi buah di tangannya ke Bude Sari.

"Bude, ini." kata gadis itu.

"Walah, kok le repot-repot."

Bude Sari menerima keresek dari Yesi dan meletakkannya di atas meja.

"Liana mana, Bude?" tanya Husein. Yesi dan Reno sedikit terkikik mendengar Husein ikut memanggil 'Bude'.

"Liana? Katanya mau ke sini sih. Tapi belom sampe-sampe."

"Oh." Padahal Husein sudah tahu, kalau Liana masih di sekolah karena ekskul. Tapi basa-basi saja.

Reno mendekat ke Januar dan mencoba mengajaknya ngobrol, sedangkan Yesi mendekat ke Bude Sari.

Ibu Januar itu kemudian bercerita tentang kronologi kejadian meski Yesi tidak terlalu berusaha mengungkitnya.

"Lha wong bapakne ki le dikabari munine enek sek keno klitih njuk salah sijine meninggal, opo yo ra mak tratap to aku, Yes." ujarnya bisik-bisik, agar tidak terlalu kedengaran Januar. Padahal tetap kedengaran.
(Orang bapaknya tuh dikabarin, bilangnya ada yang kena klitih terus salah satunya meninggal. Apa enggak shock aku, Yes)

"Lha pelakune pun ketangkep?" tanya Yesi dengan bisik-bisik juga.

"Uwis. Digowo neng Polda jare."
(Udah. Dibawa ke Polda katanya)

"Tiyang pundi to?"
(Orang mana sih?)

"Aku yo rangerti, Yes. Pokoke jare Winan ki iseh do bocah, malah luwih enom seko Janu jarene."
(Aku juga ga tau, Yes. Pokoknya kata Winan tuh masih pada bocah, malah lebih muda dari Janu katanya)

"Woalah, tesih bocah to, ya ampuun."
(Woalah, masih bocah toh)

"Iyo, Yes."

"Barang-barange Janu, Bude? Enten sing dipundut? Dompet nopo hapene?"
(Barang-barang ada yang diambil? Dompet apa hapenya?)

"Hape ro dompete ki yo isih wutuh ki. Ra dijikuk. Motore yo isih."
(Masih ada tuh, gak diambil. Motornya juga masih)

"Kayak gitu biasanya lak geng-geng liar. Yang bacokin orang random buat ampuh-ampuhan. Kayak yang belum lama itu lho." timpal Husein. "Jadi motifnya bukan karena ekonomi."

Meskipun dikenal sebagai kota yang romantis, namun Jogja bisa saja berubah seperti game GTA, yang kalau keluar malam bisa diserang orang random seperti klitih.

"Temen kita kan juga pernah to, hampir kena klitih, padahal siang-siang. Si Lele."

"Oiya, tapi untung dia langsung sadar nek mau diklitih, terus ngebut."

Sembari Bude Sari bercerita, Yesi sesekali melirik singkat ke arah Januar. Cowok itu kondisinya tidak separah pasien sebelumnya. Januar hanya diperban di beberapa bagian badan dan dagunya.

"Yo dadi pelajaran wae, nek do numpak motor sing ati-ati. Opo meneh nek mbengi. Ojo lewat dalan rawan. Awan we iso keno, opo meneh bengi."
(Ya jadi pelajaran aja, kalo pada naik motor yang hati-hati. Apalagi kalo malem. Jangan lewat jalan rawan. Siang aja bisa kena, apalagi malem)

"Enggih, Bude."
(Iya, Bude)

"Gek ndang sembuh, Jan. Nanti kita badmintonan lagi di Lembah Fitness." kata Reno.

Januar melempar cengiran dan menampakkan deretan giginya yang putih.

"Yesi ini lho, Jan. Pengen cepet-cepet tau keadaanmu. Nyampe salah ruangan tadi, nyasar di sebelah. Khawatir banget lho Yesi tu." tambahnya sambil tertawa kecil.

Yesi seketika memukul lengan Reno.

JogjalovartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang