32. terlihat akrab

103 15 4
                                    

Suara geberan motor yang khas terdengar dari depan rumah. Mendengar itu, Yesi keluar sambil membawa sesuatu dalam kantong plastik yang telah ia siapkan.

Nakula melihat kaca spion dan merapikan rambutnya sedikit. Suara engsel pintu membuatnya menoleh ke pintu depan rumah Yesi.

Gadis berkaos tie dye krem-coklat dengan gambar andong malioboro pun muncul. Ia sudah membawa pesanan tahu walik milik Nakula.

"Yes, kok gondesmu ki akrab tenan ro bapakne Liana e?" Nakula melepas kacamata hitamnya dan menautkan di depan dada.
(Yes, kok jametmu tu akrab bener sama bapaknya Liana?)

"Gondesku? Sopo maksudmu?"
(Jametku? Siapa maksudmu?)

"Kae lho, Danu? Ranu? Banu? Bribikanmu kui."
(Itu loh, Danu? Ranu? Banu? Gebetanmu itu loh)

"Januuu..!"

"Nah. Kok akrab tenan e ro Om Suryo?"

"Lha wong anak e og yo. Ibuk e Janu lak yo nikah ro Pakde Suryo."
(Ya orang anaknya. Mamanya Janu kan nikah sama Pakde Suryo)

"HEEEE?! Iyo toh? Puantes. Tak kiro yang-yangan ro Liana e."
(HEEEE?! Iya toh? Puantes. Kirain pacaran sama Liana)

"Yo ora lah."
(Ya enggak lah)

"Aku reti nek Om Suryo rabi, ning rareti nek ro ibuk e dekne."
(Aku tau kalo Om Suryo nikah, tapi gak tau kalo sama ibunya dia)

Yesi menyerahkan kantong plasik di tangannya ke Nakula.

"Piro iki totale?" tanya cowok itu.
(Berapa ini totalnya?)

"130."

"Lho, bukan e siji 15ewu? Nek 10 yo berarti 150?"
(Lho, bukannya satu 15ribu? Kalo 10 ya berarti 150?)

"Nek tuku 10 entuk diskon."
(Kalo beli 10 dapet diskon)

"Nek ro mamihku harga normal wae. Soale nggo konco kantore." Nakula mengetuk layar ponselnya dan membuka dompet digital, kemudian menunjukkan bukti transfer pada Yesi. "Ki yo, Yes."
(Kalo sama mamihku harga normal aja. Soalnya buat temen kantornya)
(Ni ya, Yes)

"Yo, nuwun."
(Ya, thanks)

"Yowes ah, selak ditunggu e." Nakula memasang kembali kacamata hitamnya, lalu menggeber motornya. "Pulang sek ya cantik~"

"Yoi, makasih ya ganteng."

"Pfffffffft. Mbok jawabe ojo ngono kui to!"
(Jawabnya jangan kek gitu dong!)

"Lha kepie?"
(Lha gimana?)

"Mengko nek aku mencintaimu tenanan pie jal?" protes Nakula, padahal dia duluan yang mulai. "Wes ah wes ah, tak mulih, ndak selak baper."
(Ntar kalo aku mencintaimu beneran gimana? Udah ah udah ah, aku mau pulang, keburu baper)

*****

Januar sedang laptopan di teras sambil mengangkat satu kaki ke atas kursi, menyelesaikan PR dan segala macam.

Kalau di homestay bapaknya, laptopan di teras lebih enak daripada di kamar. Halaman depannya cukup luas dan ditumbuhi banyak bunga serta tanaman hias. Jadinya bisa fokus tanpa perlu menyapa setiap tetangga random yang lewat. Selain itu, pemandangan bukit hijau berselimut kabut di sekitar dan suara cuitan burung juga menambah suasana semakin asri dan terasa menyembuhkan. Ditambah udaranya, di mana lagi bisa bernapas dengan udara sebersih dan sesejuk ini di Jogja, kalau bukan di Kaliurang? Dan daerah lereng gunung sekitarnya.

"Le, ki lho dinei wedang ronde ro Lek Darmi." Ibunya tiba-tiba muncul dari jalan sambil menenteng keresek. "Tamune do nengdi e kok sepi?"
(Nak, ni lho dikasih wedang ronde sama Lek Darmi)
(Tamunya pada kemana kok sepi?)

"Embuh, ketoke metu golek jadah tempe."
(Ga tau, tapi kayaknya keluar nyari jadah tempe)

"Yowes kono gek ndang diombe wedang rondene. Ndak selak adem."
(Yaudah sana buruan diminum wedang rondenya. Keburu dingin)

Januar masuk rumah dan keluar dengan membawa gelas dan sendok. Ia lantas menuangkan wedang rondenya ke dalam benda kaca berwarna putih tulang itu. Aroma jahe seketika tercium.

"Liana ki bar padu meneh karo bapak. Njur saiki nesu ngancingi kamar."
(Liana tu habis adu mulut lagi sama bapak. Terus sekarang marah, ngunciin diri di kamar)

"Padu ngopo? Perkoro yang-yangan?"
(Adu mulut kenapa? Perkara pacaran?)

"Hoo. Maune ki adem ayem, wong sempet sarapan bareng. Eh malah bapak ki mbohas-mbahas yang e. Njur Liana nesu. Dadi padu."
(Iya. Tadinya tu adem ayem, orang sempet sarapan bareng. Eh, malah bapak tu bahas-bahas pacarnya. Terus Liana marah. Jadi adu mulut)

"Woalaah."

Januar meraih pegangan gelas dan mengaduk isinya. Setelah itu, ia baru sadar ada sesuatu yang aneh pada permukaan gelas itu.

Di permukaan gelas bagian samping ada foto seorang gadis kecil berkuncir dua yang sedang merangkul bahu anak laki-laki di sebelahnya. Telinga mereka menempel satu sama lain dan senyum bahagia terukir di wajah keduanya. Terlihat akrab.

Januar seketika langsung ingat momen ketika foto ini diambil. Waktu itu dirinya ulang tahun dan dirayakan di rumah secara kecil-kecilan, dengan mengundang tetangga sekitar termasuk Yesi. Ibunya mengambil foto banyak sekali selama acara. Yesi yang melihat itu langsung mendekat. Bude, aku mau difoto sama Janu, katanya waktu itu, saat beberapa anak sudah pada pulang. Ibu Januar mengiyakan, kemudian menyuruh Yesi dan Januar berdiri berjajar dan berpose akrab. Tangan kecil Yesi tiba-tiba merangkul Januar begitu saja, membuat bocah laki-laki itu diam kaku di tempat. "Senyum to, Jan." kata ibunya sebelum mengambil foto, Januar pun baru tersenyum setelah disuruh.

Januar tidak mengerti, kenapa Yesi bisa sampai sebegitunya. Menjadikan pujian yang ia lontarkan di masa lalu sebagai semangat dalam mencapai sesuatu. Masa ucapan itu sebegitu berpengaruhnya sampai gadis itu dewasa?

Bahkan waktu Januar kena klitih, Yesi juga langsung mengirim pesan pada ibunya dan datang ke rumah sakit. Padahal dia katanya punya pacar, memang masih harus sepeduli itu padanya?

Kenapa juga si brutal satu itu sampai mencetak foto mereka dalam gelas begini, tanpa memikirkan kemungkinan apakah anak laki-laki di foto ini punya pacar atau tidak. Mana diberi bingkai bunga-bunga dan tulisan 'Love'. Memangnya dia tidak merasa menyedihkan membuat yang begini-begini setelah tahu kenyataannya?

"—yo, Jan?"

"Hah?"

"Ho to lak ngalamun." keluh Bude Sari. "Liana, mbok jak en dolan."
(Tuh kan ngelamun. Liana. Ajakin main)

"Iyo."

JogjalovartaWhere stories live. Discover now