31. pengakuan yesi

122 18 4
                                    

"HEH.. JADINYA TU DI MANA E NGERJAIN TUGASNYA????.. WELAAAHHH.. LHA RENO KEJAUHAN GAK KALO DI RUMAHKU????"

Keheningan Tlogo Putri seketika sirna begitu gadis brutal bersuara menggelegar muncul. Ia duduk ke salah satu bangku semen di pinggiran danau buatan itu dan mengarahkan layar ponsel ke depan muka. Sesekali terdengar suara beberapa orang dari dalam benda kotak pipih itu.

Tanpa gadis itu sadar, ia baru saja mengganggu ketenangan anak laki-laki yang daritadi sudah ada di situ duluan, yang sedang healing sambil menikmati jagung bakarnya.

"-OH GITU.. YOWES SINI O.. ENAK E JAM BERAPA YA????.. AKU JAM BERAPA AJA BISA, GAK ADA SANGGAR KOK NEK MINGGU.. BUAKAKAKAKAKA YAWES JAM 10.. FIX YA????.. WEHHH GIMANA SIH HUS!!! MESTI LHO NEK UDAH FIX TIBA-TIBA GAK BISA.. YAUDAH FIX LHO YAAA JAM 1.. SIP.. YA.. BUAKAKAKA.. BUAKAKAKA.. DAH YA.. CU."

Braok tenan, gumam Januar.

Yesi menutup video call dan menggigit sedikit ujung sosis bakarnya. Ia lalu memandang sekeliling dan terkejut mendapati sosok yang berada di sebelah.

"Janu?! Dari tadi kamu di situ?"

"Koe ki nek nelpon, wong sak kabupaten krungu."
(Kamu kalo telpon, orang satu kabupaten denger)

Yesi tersipu malu, "Hehehe, kamu denger to?"

Januar menggigit jagung bakarnya tanpa menjawab pertanyaan Yesi lebih lanjut. Ia mengalihkan pandangan ke perahu bebek yang sedang berlayar di tengah danau.

"Kamu ngapain e sendirian di sini, Jan? Kayak orang galau aja."

Senyum Yesi perlahan merekah. Meski sudah sering berjumpa, namun, bertemu dengan Januar di tempat ini, membuat perasaan Yesi sentimental.

Pikiran Yesi melayang jauh ke beberapa tahun yang lalu, ketika ukuran tubuh mereka setengah dari sekarang.

Mereka dulu sering main ayunan di taman bermain yang ada di pinggiran Tlogo Putri, dekat dengan tempat mereka duduk saat ini. Januar yang ayunan biru, Yesi yang pink. Januar kecil waktu itu mengayun ayunannya kencang sekali, sampai hampir 180°. Sementara Yesi di sebelah berusaha mengikutinya tapi tidak bisa.

Yesi rindu dengan Januar yang dulu. Januar yang sering tersenyum ketika sedang bersamanya.

Januar kecil memiliki sorot mata yang polos dan murni, seperti ayam baru menetas. Ia juga memiliki pipi tembam dan lekukan filtrum yang dalam di atas bibir, membuatnya semakin lucu dan menggemaskan.

Sekarang pipi tembamnya hilang dan berubah lebih maskulin. Sorot mata polos dan murninya juga berubah menjadi lembut dan melankolis, membuat siapapun yang menatap serasa terbius masuk ke dalam novel roman.

"Eh." Januar membuyarkan lamunan Yesi. "Husein tu orangnya gimana to?"

"Husein?" Dahi Yesi mengernyit, "Kenapa e kok dari kemaren nanya-nanya Husein?"

"Rapopo, takon."
(Gapapa, nanya)

"Husein tu orangnya..." Yesi berpikir sejenak, berusaha mendeskripsikan kawannya itu, "Bukannya kamu udah beberapa kali ketemu? Ya kayak gitu orangnya."

"Dia tu nek pacaran kayak gimana?"

"Pacaran?" tanya Yesi bingung. "Ya gak tau, kan aku gak pernah jadi pacarnya. Tanya Liana to ya."

"Ya makanya aku nanya gara-gara dia pacarnya Liana."

"Lha emang kenapa to, Jan?"

"Pakde Suryo."

"Kenapa bapakmu?"

Jeda lama sampai Januar selesai mengunyah, "Nyuruh aku nasehatin Liana biar gak pacaran terus."

JogjalovartaWhere stories live. Discover now