39. januar bikin yesi malu

90 20 1
                                    

"Ibumu ndi."
(Ibumu mana)

Yesi yang posisinya sedang menjemur pakaian di halaman rumah langsung mematung mati gaya ketika si tampan muncul tiba-tiba. Masalahnya, saat ini yang Yesi jemur bukan hanya baju saja, tapi, eum.. dalaman juga! Dan Januar melihatnya. Ah, sial. Rasanya Yesi ingin pindah ke galaksi lain saja. Hiks.

"K—KAE LHO MLEBU O!" semprot Yesi reflek, saking malunya. Gadis itu lantas menggerutu, kenapa sih jemuran bajunya harus di halaman rumah? Kenapa sih bapaknya tidak membangun rumah yang jemurannya di rooftop seperti rumah-rumah di perumahan? Dan kenapa sih Januar harus datang di waktu yang tidak tepat? Kenapa, kenapa, dan kenapa. Yesi langsung kesal dengan keadaan, marah pada orang-orang. Hanya karena perkara Januar melihatnya menjemur dalaman.
(I—ITU LHO MASUK AJA!)

Sementara itu, Januar yang tadi disuruh Yesi langsung masuk kini melangkah ke teras dan menengok ke dalam melalui pintu yang sudah dalam kondisi terbuka lebar. Ia mengetuk daun pintunya dan mengucap kulo nuwun. Namun, belum juga ada satu pun orang di dalam rumah yang muncul.

Melihat itu, Yesi yang masih di halaman lantas berseru dengan volume suara keras, "BUUUUK, JANUUU."

Seruan Yesi pun membuahkan hasil. Karena setelahnya, wanita paruh baya berdaster beruang teddy muncul.

"Eh? Mas Janu to. Pripun, Mas?"
(Eh? Mas Janu toh. Gimana, Mas?)

Januar sedikit merasa aneh ibu Yesi bicara kromo alus padanya, padahal waktu kecil ngoko santai begitu saja. Pemuda itu lantas mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku, "Niki, ibuk mbayar arisan."
(Ini, ibu bayar arisan)

"O, nggih. Mriki mlebet riyin, Mas Janu."
(Oh, ya. Sini masuk dulu, Mas Janu)

Kaki Januar melangkah masuk ke dalam ruang tamu Yesi. Dinginnya ubin langsung merayap ke telapak kakinya.

Sementara itu, Yesi yang masih di halaman buru-buru menyelesaikan pekerjaan menjemurnya dan memindah pakaian dalam pada sisi yang tersembunyi. Agar Januar tidak melihat lagi.

Beberapa menit kemudian, Januar keluar dari dalam rumah Yesi.

"Dah jadi kamu bikin tahunya?" tanya Yesi basa-basi, karena berpapasan dengan cowok itu ketika akan masuk rumah.

"Urung." Januar memasukkan kakinya ke dalam sandal. "Ribet ndadak nggiling."
(Belom. Ribet gilingnya)

Yesi terkekeh, "Sori ya, aku kemaren tu langsung tepar nyampe rumah. Jadinya mau bikin tahu udah gak kuat."

"Kabari nek meh open PO."
(Kabari kalo mau open PO)

"Hmm," kata Yesi sambil melempar senyum.

"Eh, betewe—" Yesi menjeda ucapannya.

"—kamu kok gak ke wisuda Mbak Shara e kemaren?"

*****

Rapopo, begitu jawab Januar ketika ia ditanya kenapa tidak datang ke wisuda Mbak Shara. Yesi pun tidak mengulik lebih jauh karena Januar seperti buru-buru pulang. Padahal ia penasaran tentang sesuatu.

"Waduh, selotip e entek. Tuku neng warung kono, Nduk."
(Waduh selotipnya habis. Beli di warung sana, Yes)

"Kan tesih to, Buk, teng lemari mriku lho."
(Kan masih, Bu. Di lemari itu loh)

"Yesi ki pinter e, nek ro ibuk e boso. Bedo karo Janu. Nek Janu ro ibuk e ra gelem boso. Tak kon boso isin jare," keluh Bude Sari, yang saat ini sedang main ke rumah Yesi bersama beberapa tetangga karena ingin melihat proses pembungkusan seserahan. Sekalian ngerumpi.
(Yesi tu pinter e, kalo sama ibunya boso. Beda sama Janu. Kalo Janu sama ibunya gak mau boso. Tak suruh boso malu katanya)
(Boso: bahasa jawa sopan yang dipake buat ngomong ke yang lebih tua)

"Soale riyin niku nek mboten boso diseneni alhamarhum simbah, Bude. Gualak e pol simbah niku. Dadine pun biasa kawit cilik." kata Yesi. "Ning nek rencang-rencang kulo kalih wong tuane nggih mboten boso og, Bude." lanjut Yesi yang terkesan membela Januar.
(Soalnya dulu tu kalo nggak boso dimarahin alm simbah, Bude. Galaknya pol simbah itu. Jadinya udah biasa dari kecil. Tapi kalo temen-temen saya tu sama orang tuanya juga gak boso kok bude)

Ibu Yesi kembali dengan membawa selotip yang telah ia temukan di wadah kecil. Ujungnya lantas dibuka dan dipotong kecil-kecil untuk merapatkan plastik bingkisan berisi handuk yang dibentuk seperti angsa.

"Pakde Sur ngenjeng sios tumut teng Jakarta, Bude?" tanya Yesi sambil menata skincare dan alat rias ke dalam keranjang.
(Pakde Sur besok jadi ikut ke Jakarta, Bude?)

"Sido. Mbingungi pakdemu ki. Gek kae lak jagongan ro masmu, pas masmu rene. Njur dadi kepengen melu. Pokoke suk nek Indra dadi manten aku arep melu ngiring neng Jakarta! Ngono jare."
(Jadi. Udah bingung pengen ikut pakdemu tuh. Waktu itu kan ngobrol sama masmu, waktu masmu ke sini. Terus jadi pengen ikut. Pokoknya besok kalo Indra kawin aku mau ikut ke Jakarta! Gitu katanya)

"Kalih sinten mawon?"
(Sama siapa aja?)

"Karep e sak keluarga. Ning yo embuh sesuk."
(Niatnya sekeluarga. Tapi gak tau besok)

Yesi senyum tipis, "Kalih Janu berarti?"
(Sama Janu berarti?)

"Iyo karo Janu. Ben dek e ngerti kono-kono." ujar Bude Sari membuat Yesi senang. "Eh, dadi eling to aku. Janu ki nguawur tenan lho, Yes."
(Iya sama Janu. Biar dia tau sana-sana. Eh, jadi inget kan. Janu tuh ngawur banget lho, Yes)

"Ngawur pripun, Bude?"
(Ngawur gimana, Bude?)

"Dek e ki wingi ngrusakke blender. Njur tak seneni."
(Dia tu kemarin ngerusakin blender. Terus tak marahin)

"Enggih to, Bude? Kok saged?"
(Loh iya, Bude? Kok bisa?)

"Embuh kae. Tak takoni, yo tok kapakke to, Le? Kok iso nganti ngeneki? Terus dek e mung jawab hehe ngono tok. Saiki blender e wes raiso dinggo. Kabel e ki koyo kebakar ngono lho. Mambu gosong."
(Tau tuh. Tak tanyain, kamu apain sih, Le? Kok bisa sampe kaya gini? Terus dia cuma jawab hehe gitu doang. Sekarang blendernya udah gak bisa dipake. Kabelnya tuh kaya kebakar gitu. Bau gosong)

Yesi membatin. Jangan-jangan Januar memblender daging untuk membuat tahu walik? Kalau iya, Yesi jadi sedikit tidak enak.

JogjalovartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang