36. jalan bareng

85 18 5
                                    

Januar menatap langit selatan. Di sana mendung seperti kisah cintanya. Akhir-akhir ini hujan memang beberapa kali mengguyur Jogja.

Setelah mandi, cowok itu masuk kamar dan membalut tubuh dengan jersey bola, yang membuat otot dadanya tercetak jelas. Ia ke cermin sebentar, wajahnya tampak pucat dan dingin. Rambutnya setengah basah dan ujungnya mencuat tajam seperti jarum.

Langkahnya kemudian bergerak ke garasi. Motor ia naiki dan nyalakan. Kemudian melaju pergi.

Di jalan besar, cowok berhidung bangir itu mematikan mesin dan membiarkan rodanya menggelinding begitu saja dengan sendirinya ke arah kota. Supaya irit bensin. Meski akhirnya sampai lampu merah ia nyalakan lagi.

Sampai di tujuan, pemuda berkulit tan dengan pipi tembam langsung menyambut Januar riang, "Januuu!"

Dua cowok itu berjalan keluar dari parkiran basement toko Remujung dan menyeberang ke Taman Budaya, yang mana pelatarannya digunakan untuk stan pasar kangen.

Pengunjungnya tumpah ruah. Di kanan dan kiri berjajar gubuk penjual makanan dengan atap daun kering. Lampu-lampu kecil berwarna emas dan ornamen turut menghiasi.

"Kae opo cah e." kata Panjul.
(Itu dia anaknya)

"Sopo?"
(Siapa?)

"Gendis."

"Woalah, arep marani cewek to tujuane. Ngopo ndadak ngejak aku."
(Ohhh, mau nyamperin cewek ternyata. Ngapain ngajakin aku segala)

"Kan ben koe dolan, Nu. Ben ra galau terus." cengir anak itu.
(Kan biar kamu main, Nu. Biar gak galau terus)

Panjul menarik kaos bola yang dipakai Januar. Membuat cowok kebulean itu otomatis mengekori.

"Gendis.." Panjul memanggilnya lirih.

Gadis itu menoleh dan melempar tatapan bingung layaknya ke orang asing.

Dan baru tersenyum ketika Panjul berkata, "Panji, mutual X."

Panjul mengulurkan tangan dan mereka berdua bersalaman canggung.

"Sama temenmu, Ndis?"

"Iya."

"Halo.." sapa Panjul ke dua gadis di sebelah, yang kemudian dibalas senyum canggung.

Teman Gendis tadi lantas asyik sendiri dan saling berbisik. Kemudian memberi isyarat pada Gendis.

Setelahnya, Gendis menoleh ke Panjul, "Muter-muter yuk?" ajaknya.

Gadis-gadis itu berdiri, diikuti dengan Panjul, kemudian mulai berjalan menjelajahi stan kuliner.

Dua teman Gendis jalan di depan, sedangkan Gendis dan Panjul di belakang. Mulai mengobrol asyik dan melupakan satu orang yang dari tadi dianggap tembus pandang.

Kampret, batin Januar. Yang berjalan paling belakang dan terlupakan.

Dua teman Gendis berhenti di penjual wedang kembang tahu. Gendis dan Panjul auto mengikuti.  Disusul Januar di belakangnya.

Di pasar ini banyak penjual jajanan jaman dulu. Selain makanan, ada juga yang menjual barang seni dan jasa peramal tarot. Dan yang terakhir barusan menarik atensi Januar. Ia lantas memisahkan diri dari rombongan.

Januar penasaran dan mendekat ke stan ramal tarot itu. Yang antri mau diramal ternyata banyak sekali.

"HEH, JAN!" Seseorang menoel lengan Januar.

Januar menoleh ke samping. Sudah ada Yesi tersenyum lebar dan menampakkan deretan gigi putih yang terpenjara dalam behel barunya.

"SAMA SIAPA E KAMU???!!!!" serunya brutal di tengah keramaian.

"Koncoku."
(Temenku)

"Konco po konco~~"
(Temen apa temen~~)

"Konco."

"Kamu ngapain e ke ramal tarot? Mau diramal jodoh po?"

"Ora."
(Enggak)

Yesi tertawa kecil, kemudian menyesap minuman dari gelas plastiknya lewat sedotan.

"Ombenan opo e," tanya Januar datar.
(Minuman apa tuh)

"Iki?" Yesi mengangkat gelasnya. "Opo yo mau jenenge. Tuku neng kono kae lho."
(Ini? Apa ya tadi namanya.. Beli di sana itu loh)

Telunjuk Yesi mengarah ke stan yang di depannya banyak botol minuman asing ditempatkan jadi satu di rak kayu.

Januar menoleh ke arah yang ditunjuk Yesi. Cukup ramai yang beli.

Ia pun pergi ke tenant minuman yang tadi ditunjuk Yesi.

"Yang sarsaparila itu, Jan," kata Yesi.

Begitu antriannya memendek ke Januar, ia memesan minuman yang warnanya seperti cola itu. Sama seperti milik Yesi.
Setelah mendapatkan pesanannya, Januar lanjut melihat-lihat. Sementara itu, Yesi masih mengikuti di belakang.

Penjual walang goreng menarik perhatian Januar. Ia lantas menghampirinya untuk melihat lebih jelas.

"Kamu mau beli, Jan?" tanya Yesi.

"Hm."

Januar menerima kuliner ekstrim itu dan langsung memakannya tanpa ragu. Rasa asin dan tekstur kress seperti menggigit kulit udang langsung terasa. Yesi memperhatikannya dan Januar sadar akan hal itu. Ia langsung iseng menyodorkan plastik berisi walangnya tadi.

Januar kira Yesi akan jijik, tapi ternyata malah mencimit satu dan mulai menggigitnya sedikit demi sedikit.

Mereka pun lanjut menjelajah stan, membelah kerumunan pengunjung yang semakin padat.

"Dewe." tanya Januar.
(Sendiri)

Yesi yang tidak mengira Januar akan bertanya sesuatu padanya pun sedikit kaget, "Ha? Apa, Jan?"

"Dewe."
(Sendiri)

"Enggak, sama temenku."

"Lha ndi."
(Mana)

"Gak tau tadi pada ke mana. Wo lha itu." Tunjuknya ke anak perempuan dan anak laki-laki familier di stan kue cucur. Januar memicingkan mata, ia lantas menangkap sosok tidak asing yang pernah ia lihat waktu main badminton.

"Tak kiro ro sek parlente kae."
(Kirain sama yang parlente)

"Parlente?"

"Sing apalane kocomotonan ireng."
(Yang suka pake kacamata item)

"Nakula toh?"

"Hm."

"Ora yo."
(Enggak ya)

JogjalovartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang