35🐺

205 7 0
                                    

Tiga tahun berlalu.

Matahari mulai menampakkan diri secara perlahan, memancarkan sinarnya yang menyilaukan hingga ke dasar bumi. Melewati apa saja dan menembusnya. Awan mulai naik ke atas, tak lupa angin-angin dingin mulai berembus membuat bulu kuduk meremang jika terkena embusan dinginnya.

Sesekali angin datang perlahan hingga menggoyangkan dedaunan pohon-pohon yang berdiri kokoh di samping bangunan tersebut.

Bunga-bunga yang tumbuh di bawah pohon mulai bermekaran, sesekali kupu-kupu hinggap pada bunga dan diam di atas putiknya untuk beberapa saat, lalu kembali terbang ke bunga yang lainnya.

Tupai-tupai mulai menunjukkan aktivitasnya dengan melompat-lompat dari ranting pohon yang satu ke pohon yang lainnya.

Suara kicauan burung terdengar samar namun merdu, menciptakan suasana yang begitu damai di sekitar tempat tersebut.

Setitik air terjatuh dari ujung sebuah daun yang tak sanggup lagi untuk menahan titik air tersebut yang semakin lama semakin merosot ke bawah.

Rerumputan masih terlihat basah-basah akibat ulah awan yang sempat menetap semalaman di sana.

Angin kembali menggoncang segala hal yang ia lewati, tak terkecuali gorden menyilaukan itu yang berwarna putih. Ragu jika gorden itu terpintal dari benang, bukan tanpa alasan. Mengapa gorden itu terlihat silau seperti nilon? Jika itu terbuat dari benang, tak akan menyilaukan seperti itu.

Gorden besar itu sedikit tersingkap sehingga memudahkan sinar matahari marangkak masuk dan menembus jendela kamar tersebut.

Semakin lama, sinar matahari tersebut semakin naik hingga mencapai tempat tidur. Membuat seseorang yang sedang terbaring tidur di sana dibuat sedikit terusik karena ulah si matahari.

Ia sedikit bergerak gelisah sebelum berbalik membelakangi jendela, membuat sinar oranye itu tak lagi mengenai wajah orang tersebut.

Nuansa kamar yang begitu enak dipandang mata, suasana tenang karena kamar luas itu di dominasi oleh warna putih bersih tanpa cela. Tak ada warna primer satupun di sana, bahkan barang terkecil seperti penjepit rambut. Semuanya serba putih.

Jika seseorang masuk ke mari, bisa-bisa ia akan berceloteh tentang masuknya ia ke surga. Karena memang seputih itu! Tak ada noda, semuanya bersih sebersih tisu baru.

Ceklek. Pintu kamar berwarna putih kamar itu terbuka, menandakan ada seseorang yang hendak masuk.

Kaki seseorang mulai melangkah memasuki keramik putih itu, kakinya yang jenjang dengan sepatu hitam khas orang dewasa, serta pakaian jas-nya itu terlihat sangat gagah ketika ia melangkahkan kakinya satu persatu.

Kaki itu terus mendekat dan semakin masuk ke kamar, hingga ia terhenti tepat di samping tempat tidur.

"Lil.. bangun. Ini hari pertama sekolah setelah libur musim dingin.." suara berat khas pria dewasa itu terdengar dengan begitu jelasnya.

Ia pria dengan perawakan tubuh bagus, lengan cukup berisi, dada yang bidang, rahang yang terlihat begitu kokoh, mata tajam, hidung mancung, alis tebal, serta modelan rambut yang diarahkan ke belakang. Terlihat menyilaukan, seperti habis di pakaikan minyak rambut. Khas lelaki sekali!

"Bangun sayang.." panggil pria itu, kini ia sedikit mengusap kening putrinya itu.

Lil sedikit terbangun, matanya sedikit terbuka. Jiwa malasnya mulai berkobar jika hendak menyingkap selimutnya, atau ketika kakinya hendak keluar dari dalam selimut dan menginjak lantai keramik yang dingin itu.

"Hei.. Lil? kau tak mau sekolah?" Tanya pria itu lagi, kini ia berjalan menjauh dari tempat tidur. Bukan hendak keluar kamar, melainkan menyingkap gorden-gorden raksasa yang ada di kamar itu.

Akibat tak ada lagi penghalang, sinar matahari itu akhirnya menyentuh kepala Lil, gadis yang sedang tertidur.

Beberapa detik, Lil merasa terusik. Kepala bagian belakangnya terasa sedikit panas.

Lil terbangun dengan malas-malasan, hendak mencari tahu perihal apa yang menyilaukan dan panas dari belakangnya.

"Bangun Lil.." ucap pria itu dengan gemas, melihat wajah khas bangun tidur Lil yang menggemaskan.

"Papah.." gumam Lil, tak bertanya, tak juga memberi pernyataan. Sekedar ucapan sebagai tanda bahwa ayahnya-lah yang membukakan gorden sehingga kepala bagian belakangnya terasa menyengat akibat ulah sinar matahari.

"Ga mau sekolah? Udah siang banget loh." Ucap ayahnya—Patra, menatap putrinya itu dengan kekehan kecil. Bisa-bisanya Lil terduduk di atas kasur dengan mata menutup, seperti tertidur.

"Katanya kangen temen-temen." Ucap Patra seperti bisikan, tak menatap Lil secara langsung. Ia melihat Lil dengan sudut mata karena langkahnya kini mulai mendekati pintu, hendak keluar.

Seketika wajah gadis itu berseri, matanya langsung melotot lucu dan segera menyingkap selimut putih itu yang masih menutupi sebagian kakinya.

Segera saja ia berlari terbirit-birit menuju kamar mandi, dan menutup pintu itu dengan kencang.

Brakk! "Aduuh!! Bisa-bisanya aku terlambat!!" Panik Lil dari dalam sana, sudah jelas sekali gadis itu hendak melakukan apa. Suara keran yang menyala mulai terdengar, serta gerutuan gadis itu masih terdengar samar.

Patra terkekeh lucu, tingkah gadis itu begitu menggemaskan. Patra hanya bisa menggeleng kepala melihatnya.

Ia melangkah keluar dari kamar Lil, menutup pintu berwarna putih itu dan berlalu dari sana.

🦄🦄🦄

Tbc

21 Desember 2023

FLOWER GARDEN [PINDAH KE KARYAKARSA]Where stories live. Discover now