Bagian 4

54.4K 3.5K 55
                                    

"Perencanaan sudah sepenuhnya selesai, Firman? Atau masih ada hal-hal yang perlu dikoreksi?"

Arlan menatap Firman yang duduk di kursi paling depan ---dekat dirinya---, dimana pria berusia awal 30-an itu terlihat menatap serius layar laptopnya.

Mendengar itu, Firman menganggukan kepalanya sembari tersenyum lebar. "Untuk perencanaan sendiri sudah dipastikan matang, Pak. Para atasan juga sudah memberikan kesempatan untuk kita memulai projek baru kita," jawabnya penuh semangat dan percaya diri.

Arlan mengangguk-anggukan kepalanya dan menatap satu persatu staf yang mengikuti rapat hari ini, hingga matanya menemukan Mima yang sedari tadi kentara jelas menghindari kontak mata dengannya. "Baik, kedepannya saat pelaksaan saya harap semua tim berkontribusi dan tidak ada yang memberatkan satu sama lain. Kita harus kompak juga yakin jika projek kita kali ini juga akan berhasil seperti projek sebelumnya, saling bantu juga dan jangan ada yang mengekang ego sendiri. Pak Erdi, jangan lupa untuk selalu aktif berkomunikasi dengan pihak yang memantau pabrik, supaya kita tau apa ada kendala yang terjadi atau tidak. Harus dipastikan projek satu ini lebih maju dibanding projek lalu." Mima berdecih pelan. Sok-sokan menyuruh orang lain yakin tapi saat menerima ide darinya dia tidak yakin, dumalnya di dalam hati.

"... Dan, Jemima?"

Ia tersentak. "Ya, Pak?" Refleks menatap Arlan yang sejak tadi memperhatikan dirinya. Semua mata kini tertuju ke arahnya.

"Setelah meeting selesai kamu jangan dulu keluar, ada yang ingin saya bahas dengan kamu."

Dahi Mima mengernyit dalam, kedua matanya menatap Arlan dengan menyipit sekaligus bertanya-tanya. Apalagi yang akan pria itu lakukan terhadapnya?

Lova yang melihat serta mendengar hal tersebut lantas menatap Arlan dengan seksama, wajahnya terlihat seperti orang bingung namun penasaran sekaligus. Ia menduga-duga jika masalah antara Arlan dan Mima masih belum selesai.

Setelah meeting ditutup, satu persatu orang mulai keluar kecuali Mima dan Arlan yang katanya ingin membahas sesuatu. Tentunya tidak ada curiga ---kecuali satu orang--- dan menganggap jika Arlan memang ada yang mau dibicarakan mengenai pekerjaan, bersama Mima.

Mima masih duduk di kursinya, menunggu dengan tak sabar apa yang ingin Arlan sampaikan kepadanya hingga tiba-tiba pria itu bangkit dan menarik kursi di sampingnya.

"Saya ingin membuat satu kesepakatan dengan kamu," ucap Arlan tanpa basa-basi lebih dulu membuat Mima menatapnya bingung.

"Kesepakatan apa?"

Pria itu menumpangkan sebelah kakinya sambil bersedekap dada. Namun Mima sempat salah fokus pada dada Arlan yang sangat bidang dengan bahu lebar, meski dengan segera dia tepis pemikiran anehnya.

"Kesepakatan yang akan membuat kamu membungkam mulut tentang malam itu, selamanya."

Sebelah alis Mima terangkat. "Maksudnya Bapak mau bunuh saya? Astaga, Bapak. Cuman karena saya mergokin Bapak ciuman Bapak mau bunuh saya?" cerocos Mima dengan nada bicara yang mulai terdengar panik.

Tentu saja, siapa yang akan tidak panik kalau tahu nyawanya terancam ditangan atasan sendiri?

Mendengar apa yang Mima katakan, Arlan sontak mengernyit lalu mendengus. "Apa kamu gak bisa berpikir secara positif tentang saya? Kenapa pikiran kamu jelek sekali?" tanyanya.

"Ya, gimana mau berpikir secara positif orang Bapak aja sering ngancem saya dari kemaren? Pak, saya masih punya keluarga yang harus saya nafkahi. Jadi, saya mohon untuk pikirin matang-matang niat Bapak itu!"

Mima masih muda, dia belum memenuhi wish list-nya untuk berjalan-jalan ke Eropa, belum menikah dan juga jadi ibu ---salah satu impian Mima yang paling besar. Jika dia mati sekarang semua harapannya itu hanya akan jadi angan-angan belaka.

My Beloved Staff (TAMAT)Where stories live. Discover now