Bagian 13

47.9K 3.9K 40
                                    

Tengah malam, ketika Mima masih belum tertidur dan fokus menatap layar laptopnya, dering handphone-nya berbunyi menarik atensi si pemilik untuk mengambilnya. Kedua alisnya saling bertaut ketika mendapati nama kontak Arlan tertera di layar panggilan, membuat Mima dengan ragu mengangkatnya.

Keheningan langsung menyambut saat Mima menempelkan ponsel tersebut ke telinga, hanya terdengar bunyi grasak sampai akhirnya seperti helaan napas.

"Jemima?" Suara berat Arlan memanggil, membuat Mima refleks menggigit bibir bawahnya.

"Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" Karena tidak biasanya Arlan menghubungi tengah malam begini jika tidak kepentingan mendesak.

Diujung sana Arlan yang sedang berdiri bersandar pada daun jendela, menatap lurus ke depan. Dimana hamparan luas taman rumahnya berada. "Saya ... Cuman gak bisa tidur. Apa kamu sudah tidur?" Mima tersenyum tipis.

"Belum. Kebetulan saya juga gak bisa tidur, kebanyakan kafein." Mima tertawa kecil diakhir katanya membuat Arlan ikut tersenyum saat mendengar suara manis Mima. "... Kalau Bapak kenapa gak bisa tidur?"

Arlan terdiam kembali cukup lama sebelum akhirnya menjawab, "Hanya ada sedikit yang mengganggu," ucapnya membuat Mima mengangguk mengerti.

Ya, terkadang beban pikiran jauh lebih ampuh membuat seseorang tidak dapat tertidur alih-alih kafein.

"Lagi ada yang Bapak pikirin, ya?"

"Hm, ya. Semacam itu."

"Bapak bisa cerita kalau Bapak mau." Mima tidak tahu apakah Arlan adalah seseorang yang selalu membagi ceritanya dengan orang lain, tapi sebagai kenalan yang baik tentu Mima tidak suka orang lain dalam kesulitan.

"Cerita?" Arlan membeo.

"Bapak tau gak? Kadang berbagi cerita itu bisa jadi salah satu alternatif untuk mengurangi beban pikiran. Emang gak akan bisa buat masalah kita selesai, tapi seenggaknya hati kita bakalan plong. Soalnya apa yang mengganggu pikiran kita bisa kita utarakan. Itu selalu cukup manjur buat saya," jelas Mima panjang tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Dimana sejak tadi dirinya tengah mengunjungi laman online shop, dan memerhatikan sebuah sepatu cantik.

Tapi jelas pikirannya tidak 100% tertuju ke sana.

"Saya cuman lagi bingung."

"Bingung?" Orang kaya memang bisa bingung juga, ya?

"Iya. Jemima, menurut kamu saya orang seperti apa?" Sebelah alis Mima terangkat ketika tiba-tiba Arlan melontarkan pertanyaan seperti itu.

"Kenapa Bapak nanya begitu?"

"Saya cuman mau tahu, gimana diri saya dipandangan kamu. Menurut kamu, saya sosok seperti apa?"

Mima menghela napas, kini matanya bergerak ke atas seolah sedang berpikir. "Bapak itu susah ditebak."

"Hm?" Ia mengangguk pelan.

"Kadang Bapak banyak omong, kadang jadi pendiem. Bukan dalam artian buruk. Memahami orang lain itu gak akan cukup dalam waktu sebulan-dua bulan, Pak. Bahkan puluhan tahun pun gak menjamin seseorang dapat mengenali diri orang lain. Karena manusia berubah-ubah sesuai dengan apa yang udah alami selama ini. Cuman sekarang menurut saya, Bapak seperti itu. Of course Bapak baik, Bapak juga tegas meski kadang suka kelewat ngeselin kalo udah nyuruh." Tanpa Mima sadari, apa yang dirinya katakan sukses membuat sebuah senyuman terbit di wajah Arlan.

Jenis senyuman manis dengan wajah bersemu. Mendadak Arlan dibuat salah tingkah padahal dia sendiri yang bertanya pada Mima.

"Gitu, ya? Kamu gak nutupin kejelekan saya karena udah saya beliin tas, 'kan?" Tuduhan tersebut membuat Mima melebarkan matanya.

My Beloved Staff (TAMAT)Where stories live. Discover now