Bagian 14

46.6K 3.7K 50
                                    

Mima meringis pelan saat merasakan sensasi dingin yang berasal dari plester penurun panas didahinya. Iya, benda penurun demam khusus anak-anak itu kini menempel diatas kepalanya dan siapa lagi yang bukan berani melakukannya jika bukan Arlan.

Setelah perdebatannya yang cukup sengit dengan Bella, Arlan ternyata membawa Mima ke ruang kesehatan dan mendudukkannya begitu saja sebelum akhirnya menyuruh salah seorang OB untuk membeli plester pereda demam, karena tidak tersedia disana.

Sampai saat ini Arlan masih diam, raut wajahnya tidak seseram tadi tapi tetap saja Mima masih agak takut kalau harus mengajaknya bicara. Maka dari itu ia memilih untuk diam sambil berbaring diatas ranjang ruang kesehatan, lumayan bisa istirahat juga sebentar.

"Saya pernah ada rasa sama dia." Mima yang sedang memunggungi Arlan sontak terkejut ketika mendengar suara pria itu, terkesan tiba-tiba makanya Mima kaget. "... Dulu, sewaktu saya masih kerja sebagai karyawan biasa disini dan dia sudah mulai sibuk dengan karirnya sebagai model. Saya dengan percaya diri nembak Bella, karena saya pikir visi dan misi kita sama. Kita bisa sama-sama berkembang dengan karir kita, selain itu kita juga udah mengenal sangat lama. Tapi ternyata saya salah." Terdengar helaan napas yang begitu berat dari arah belakang, dimana Arlan berada.

Mima masih mendengarkan tanpa berniat menyela. Karena jujur saja ia jadi penasaran kalau Arlan sudah cerita begitu, padahal sebelumnya Mima bodo amat.

"Bella gak mau. Dia bilang dia gak cinta sama saya dan anggap saya gak lebih dari seorang teman. Ya, alasannya sih begitu tapi dua hari kemudian saya malah dengar kabar kalau dia jadian sama salah satu petinggi yang urus acara fashion week di luar negeri. Dari situ saya sadar, kalau sebenernya dia nolak saya bukan karena kita teman. Tapi, karena Bella gak mau kita berproses bareng. Dia pengen seseorang yang bisa menguntungkan buat kerjaannya dan mempermudah jalan jenjang karirnya." Arlan tersenyum tipis, mengingat kejadian lampau yang sempat membuatnya merasa begitu rendah sebagai seorang pria.

"... Sebenarnya Bella gak salah dan dia berhak untuk lakuin itu. Yang ngebuat saya ngerasa kesal adalah, kenapa dia justru bersikap seolah dia suka sama saya setelah apa yang dia lakuin? Bahkan kejadian itu udah lima tahun yang lalu. Meskipun saya coba buat balikin hubungan pertemanan kita, tetep aja gak bisa. Rasanya kayak, harga diri saya tergores---"

"Itu bukan salah Bapak." Suara Arlan tercekat ketika mendengar Mima menimpali. Dia pikir wanita itu tidur.

Perlahan Mima bangkit dan merubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arah Arlan, keduanya saling memandang satu sam lain. "Emang bener itu hak Bu Bella dia mau memilih berproses sama Bapak atau justru bersama dengan pria yang sudah siap menunggunya diatas. Tapi, ketika dia memilih salah satu diantara itu maka seharusnya dia juga siap dengan resiko yang akan dia dapatkan. Ya, dengan sikap Bapak yang gak bisa lagi seperti dulu." Kalimat yang terurai dari mulut Mima berhasil memberikan ketenangan bagi Arlan.

"Menurut kamu begitu? Apa itu gak kekanakan?" Mima tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalanya.

"Enggak. Itu kan masalah hati, dan yang ngerasain sakitnya kayak apa Bapak sendiri bukan orang lain. Jadi, Bapak berhak mau menerima Bu Bella lagi atau enggak. Bapak juga berhak marah kalau merasa self space Bapak diganggu," jawabnya tanpa mengalihkan sedetikpun tatapannya dari sepasang obsidian milik Arlan.

Arlan menarik tiap sudut bibirnya hingga membentuk kurva manis. Akhir-akhir ini, mendengar kalimat bijak yang tercetus dari mulut Mima memberikan reaksi tersendiri pada perasaan Arlan. Wanita itu tahu bagaimana cara menenangkan orang lain tanpa menghakimi pihak manapun. Rasanya seperti candu mendengar suara Mima untuk waktu lebih lama lagi.

"Mima?"

"Ya, Pak?"

Mima menautkan sebelah alisnya saat Arlan tak kunjung bicara dan hanya memperhatikannya. Sampai akhirnya pria itu berdiri lalu secara tiba-tiba memeluknya dengan erat. Tindakan yang terkesan mendadak itu membuat tubuh Mima mematung, pria itu bahkan tak izin dulu.

My Beloved Staff (TAMAT)Where stories live. Discover now