Bagian 32

44K 3.3K 150
                                    

Semenjak punya pacar, rutinitas yang biasanya Mima kerjakan seorang diri, sekarang lebih sering berdua. Sebenarnya Mima bukan tipe perempuan yang harus selalu mendapat bantuan, sekiranya sesuatu itu bisa Mima kerjakan sendiri maka Mima tidak masalah. Tapi, masalahnya adalah terletak pada Arlan.

Pria itu tidak membiarkan Mima melakukan apapun sendiri, setiap kali Mima berkilah Arlan pasti akan menjawab, "Sekarang kan kamu udah ada aku. Jadi, gakpapa kalo mau andelin aku. Jangan apapun lakuin sendiri lagi, oke?" Kalau sudah begitu mana bisa Mima menahan-nahannya lagi.

Bukannya Mima tidak senang punya pacar ya, dia malah merasa bersyukur karena pacarnya spek Arlan. Apalagi Arlan bukan tipe pria pelit ---entah itu waktu, uang, maupun tenaganya. Tanpa perlu diminta pun Arlan tahu harus bagaimana dan melakukan apa sebagai pasangan, mungkin faktor usia mereka yang sudah dewasa juga cukup mempengaruhi. Jadi, sebulan ini terasa begitu cepat mereka lalui.

Selama itu pula Mima selalu diantar-jemput bekerja oleh Arlan sehingga menimbulkan bukti kuat di mata orang-orang kantor, bahwa mereka memang memiliki hubungan lebih dari sekedar partner kerja. Iya, kan partner hidup.

Rosa dan Via yang baru tahu jika mereka berpacaran, awalnya histeris ---padahal sebelum-sebelumnya mereka paling gencar menyuruh Mima untuk berpacaran saja dengan Arlan, tapi setelah Mima wujudkan mereka malah kaget dan tidak percaya. Untuk Lova, jangan ditanya bagaimana reaksi gadis kencur satu itu. Sudah pasti patah hati dan kebenciannya pada Mima tidak dapat diukur dengan apapun lagi, tapi apa Mima peduli? Tentu saja tidak!

Seperti yang Arlan katakan, hubungan mereka tidak ada yang salah karena mereka sama-sama mencintai dan sama-sama single, itu paling penting. Mau orang lain menganggap mereka seperti apa, tidak akan mempengaruhi apapun bagi Mima atau Arlan. Karena hubungan tersebut dijalani oleh mereka berdua, bukan pendapat orang.

"Aku tuh kangen nyetir tau! Mas gak perlu lah tiap hari jemput aku." Mima memulai pembicaraan mereka dengan mengeluh pada Arlan yang setiap hari terus menjemputnya, alih-alih senang karena ia jadi hemat bahan bakar kendaraan, Mima justru malah mengeluh karena sudah lama tidak menyetir.

Arlan yang duduk di sampingnya pun melirik wanita itu sekilas, dimana Mima sedang mengerucutkan bibirnya. "Kan ada aku, ngapain nyetir sendiri ke kantor?" Balasnya yang justru bertanya, membuat Mima merotasikan matanya.

"Ya emang kenapa? Biasanya aku juga nyetir sendiri, kok. Mas, kan gak ada salahnya kalo aku bawa mobil sendiri sesekali."

"Kita satu kantor, Jemima. Searah juga, gak perlu bolak-balik. Gak masalah lah!"

"Emangnya kamu gak repot gitu? Gak bosen liat muka aku terus?!" Arlan menautkan alisnya.

"Kok nanyanya gitu? Gak repot, gak bosen juga justru aku seneng bisa sama kamu tiap hari! Mata aku gak masalah liatin muka cantik kamu."

Mima mendengus pelan. Bisa-bisanya Arlan terang-terangan menunjukan sisi bucinnya seperti itu, yang malah membuat Mima jadi malu sendiri.

"Tapi aku kangen nyetir, Mas! Aku mau nyetir!"

"Nyetir pegel, Jemima. Aku aja."

"Ih! Ya udah, kalo gak boleh bawa mobil sendiri, kita tukeran aja sekali-kali. Aku bolehin nyetir mobil Mas, jangan Mas terus!"

"Mobil ini kegedean buat kamu. Aku aja."

"Ih! Nyebelin banget!" Wanita itu memekik kesal lalu membuang muka sambil bersedekap dada, Arlan yang tidak mau mengalah dan selalu berhasil menang hanya cengengesan melihat kekasihnya.

Sesampainya di kantor pun Mima masih mendiamkan Arlan, tidak membalas kecupan yang sudah menjadi rutinitas sejak sebulan lalu, pokoknya Mima sedang menunjukan pada Arlan bahwa dia sedang marah. Baru akan luluh kalau Arlan mengizinkannya pergi ke kantor sendirian lagi, tidak antar dan jemput hampir tiap hari.

My Beloved Staff (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang