BAB II

34.7K 4K 222
                                    

Aku nyaris tersedak daging asap yang sedang kumakan untuk sarapan. Mataku menatap layar ponsel di genggamanku lurus-lurus. Berkali-kali aku mengerjapkan mata hanya untuk memastikan bahwa tatapan mataku tidak sedang menipuku.

Aku baru saja mengecek situs resmi Sarah Bakker (yang merupakan kebiasaanku sehari-hari, omong-omong), ketika aku melihat sebuah tulisan terbaru yang baru saja diunggah sekitar satu jam yang lalu.

Begini tulisannya:

Saya berpikir untuk menulis novel Mr. Peter Rain sebagai penutup dari dua novel yang telah mendahuluinya, yakni Mr. Peter dan Mr. Rain.

Saya sendiri sebenarnya sudah menyiapkan ide dan alur untuk Mr. Peter Rain ini sejak lama. Sejak lama pula saya ingin sekali menulis dan menerbitkan Mr. Peter Rain ini. Namun kerjaan-kerjaan lain sungguh menyibukkan saya sehingga saya tidak punya waktu yang pas.

Sekarang saya rasa adalah waktu yang pas. Tapi saya tetap butuh bantuan kalian semua. Saya dan pihak penerbit perlu tahu kalau kalian tidak kehilangan minat pada Peter Rain kesayangan kita ini. Tunjukkan minat kalian lewat apa saja. Minat sekecil apapun akan sangat sangat sangat saya hargai.

Salam dari tengah hujan,
Sarah Bakker.

Apa dia gila? 'Saya dan pihak penerbit perlu tahu kalau kalian tidak kehilangan minat pada Peter Rain kesayangan kita ini.'?

Apakah dia tidak tahu, banyak aku di luar sana yang memimpikan hal ini! Ya ampun! Mimpi apa aku semalam?

"Ada apa?" tanya Papa sambil duduk di hadapanku.

Aku mengangkat wajahku dari ponsel sambil nyengir lebar. "Sarah Bakker akan menerbitkan buku untuk menutup kisah Peter Rain."

Papa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, "Kau benar-benar harus melupakan Peter Rain dan pergi mengencani cowok sungguhan di luar sana."

Aku memutar bola mataku. "Bersyukurlah aku seperti ini. Memangnya Papa mau, anak perempuan Papa satu-satunya tiba-tiba pulang dengan bayi di perutnya?" tanyaku sambil tersenyum jail. Aku selalu menang menentang argumen Papa jika aku mengutarakan alasan andalanku yang barusan.

Sebelum Papa sempat mengatakan apa-apa, Mama melangkah masuk ke ruang makan sambil tertawa kecil. Wanita itu duduk di sebelah ayahku sambil berkata, "Kau harus mencoba mencari alasan yang lain, Ana. Kami mulai bosan mendengar alasanmu yang satu itu."

Aku mengangkat bahuku. "Kurasa alasan itu masih mampu untuk mencegah Papa berceloteh panjang lebar tentang pentingnya mencari cowok di dunia nyata," jawabku sambil tersenyum lebar. Aku melirik ayahku kemudian bertanya, "Benar, kan?"

Papa memajukan bibirnya, pertanda kalah. Tawa Mama dan aku berderai ketika Papa memutuskan untuk mengabaikanku dan melanjutkan membaca koran paginya.

[']

Aku nyaris saja membanting pintu lokerku begitu aku melihat Megan berjalan memasuki pintu masuk. Aku buru-buru berlari menghampirinya sambil tersenyum riang.

Aku melambaikan tanganku. "Megan!"

"Hai, Ana," balasnya sambil melambaikan tangannya sekilas. Dia melihatku dengan heran. "Kenapa kau tampak sangat bersemangat?"

Apa dia gila? Apakah itu bahkan pertanyaan?

"Kau bercanda, ya?" tanyaku sambil menatapnya dengan tidak percaya.

Megan justru mengerutkan dahinya dan menatapku seolah-olah aku yang aneh—dan bukannya dia.

"Kau tidak tahu, ya?" tanyaku lagi sambil menyipitkan mataku.

Megan mengangkat alis kanannya. "Apa yang tidak kuketahui?" tanyanya.

"Kau pasti belum mengecek situs Sarah Bakker pagi ini," tebakku.

Aku yakin dugaanku benar karena Megan mengangkat bahunya. Ia kemudian berkata, "Aku hanya mengecek situsnya setiap akhir pekan. Memangnya ada apa?"

Aku merogoh saku dan mengeluarkan ponselku. Aku menyodorkan ponselku ke hadapannya. "Baca," perintahku dengan bersemangat.

Megan mengambil ponsel dari genggamanku. Ia kemudian segera membaca tulisan yang tertera di layar. Matanya bergerak dengan cepat ke kanan dan ke kiri selagi dia membaca. Begitu dia selesai membaca, dia segera bersorak kegirangan. Aku ikut-ikutan bersorak.

Kami bersorak sambil melompat-lompat berdua di koridor. Kami tidak peduli apa kata orang. Karena halo? Siapa yang peduli sih, pikiran orang lain jika Sarah Bakker akan menerbitkan buku baru tentang Peter Rain?

"Ya ampun," kata Megan sambil berjalan ke lokernya dengan napas yang tersengal-sengal. "Aku tidak percaya aku bisa melewatkan informasi sepenting itu. Penggemar macam apa aku ini?" keluhnya.

Aku berjalan di sisinya dan kemudian bersender di loker sebelahnya. "Yang penting adalah Sarah Bakker akan menerbitkan lagi kisah Peter Rain."

Megan mengangguk. "Kalau peminatnya terbilang banyak," tambahnya.

"Kau bercanda, ya?" tanyaku sambil menatap wajahnya dengan heran. "Pasti banyak peminatnya!"

"Iya, sih," jawab Megan sambil menutup pintu lokernya. Ia kemudian berdiri di sebelahku. Beberapa helai rambut panjangnya menyentuh bahuku. "Tapi kurasa, kita tetap perlu mengadakan acara, untuk menyenangkan Sarah Bakker. Lagi pula, dia dulu bersekolah di sini, dia pasti senang jika peminat novelnya banyak dari sini."

Aku memikirkan kata-kata Megan sebentar sebelum akhirnya mengangguk. "Kau benar," kataku. "Lagi pula, kita punya Komunitas Hujan yang belakangan ini kerjaannya menganggur."

Megan tersenyum senang. "Betul. Ini akan menjadi kesempatan bagus untuk memulai lagi."

Aku mengangguk. Senyumku terbit. "Sial. Lagi-lagi kau benar," kataku sambil tertawa kecil.

Megan tersenyum pongah. Aku menabok bahunya.

"Tidak perlu berbesar kepala begitu," tegurku sambil bercanda.

Megan tertawa kecil. "Kalau begitu, kapan kita akan mengadakan pertemuan pertama?"

"Secepatnya lebih baik," jawabku. Aku terdiam sejenak untuk berpikir. "Bagaimana kalau hari ini? Sepulang sekolah?" tanyaku.

Megan tampak mempertimbangkan usulku. "Jadwalku selepas pulang sekolah hari ini kosong. Tapi aku tidak tahu dengan jadwal para anggota inti Komunitas Hujan."

"Nanti biar kutanyakan kepada mereka," kataku.

Megan mengangguk. "Kabari aku jika kau sudah menetapkan jadwalnya, ya."

"Oke," balasku.

Jadi begitulah, kami akan mengadakan acara untuk Peter Rain. Bersiaplah Tuan Hujan, karena acara ini akan sangat menakjubkan.[]


a.n
hai, cuma mau ngasih tau, kalau aku pernah bilang ke kalian cerita ini latarnya nggak di Indonesia, aku ralat ya kawan-kawan. Cerita ini ada di Indonesia. Cuma dialognya pakai aku-kau gitu. HEHE. Udah itu aja sih.

Next Door to the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang