BAB XX

13.7K 2.5K 172
                                    

Aku yakin sekali itu Nathan Adinata. Aku melihat rambut acak-acakannya dengan sangat jelas saat dia menundukkan kepalanya dan perlahan-lahan hilang dari pandanganku.

Aku tidak berpikir dua kali sebelum berlari keluar dari aula. Aku berlari begitu saja menuju pintu sekolah, mendorong pintu itu, berlari melewatinya, dan berbelok menuju lapangan parkir motor yang terletak persis di samping dinding luar aula.

Seperti dugaanku, aku menemukan sekumpulan anak-anak cowok yang sedang mengobrol dan tertawa. Beberapa dari mereka memegang ember. Dan salah satu dari mereka baru saja turun dari tangga besi lipat yang disenderkan ke dinding luar aula. Nathan Adinata.

Tanpa membuang-buang waktu lagi dan berjalan menuju mereka. Aku sama sekali tidak peduli pada pakaianku yang basah kuyup, rambutku yang acak-acakan, mataku yang sembab, dan hidungku yang bengkak. Salah mereka sendiri membuatku tidak enak dilihat. Masa bodoh jika menurut mereka aku mengotori 'pandangan terhadap dunia' mereka.

Seseorang mengatakan sesuatu kepada Nathan, dan Nathan baru membuka mulut untuk membalas ucapannya ketika aku menyela sambil tersenyum sinis. "Terima kasih untuk airnya. Kalian tahu, kami semua yang tadi di dalam jadi tidak perlu mandi sore ini," kataku.

Cowok-cowok itu menoleh dan tampak terkejut melihatku berdiri di sana.

Aku berbicara lagi—tidak memberi kesempatan pada mereka untuk membalas ucapanku. "Kenapa tidak sekalian kalian taruh sabun, sampo, dan pasta gigi? Kami akan sangat berterima kasih."

"Oh, ide yang bagus," sahut Nathan. Ia menoleh kepada teman-temannya lalu berkata, "Lain kali, kita taruh sabun, sampo dan pasta gigi."

Teman-teman cowoknya bertukar senyum gugup. Jadi mereka masih punya sedikit ruang di otak kecil mereka untuk memikirkan hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan pada saat ini. Dan kurasa, ruang kecil itu telah hilang entah ke mana dari otak Nathan, karena dia tidak tahu bahwa:

1. Dia seharusnya diam.

2. Dia tidak seharusnya berbicara.

Aku mengepalkan kedua telapak tanganku kuat-kuat. Saat itu aku benar-benar berharap selama ini aku menguasai ilmu bela diri atau apa karena aku benar-benar ingin meninju Nathan. Selain itu, kurasa meninjunya juga akan menghilangkan sesak di dadaku.

Mungkin aku bisa saja menangis saat itu. Tapi aku terlalu marah untuk menangis.

"Kenapa kalian melakukan hal itu?" Aku menatap cowok-cowok itu dengan kedua tangan yang masih terkepal kuat. "Aku dan teman-temanku mati-matian menyusun acara itu. Apakah kalian tidak bisa melihat orang lain merasa senang? Semuanya berantakan di dalam, basah kuyup. Dan cupcake ibuku—ibuku nyaris menghabiskan setengah hari hanya untuk membuat cupcake yang kalian hancurkan!

"Dan kami juga bersusah payah menghubungi Sarah Bakker—oh, tidak! Sarah!" Aku meletakkan kedua telapak tangan di dahiku dan memejamkan mataku. Ini semua kacau. Sarah Bakker tidak setiap hari berada di Indonesia. Tapi dia juga tidak mungkin datang ke acara yang kacau ini.

Hilang sudah kesempatanku untuk membuat kagum pihak sekolah. Aku benar-benar ingin pihak sekolah melihat potensi Komunitas Hujan—kalau begini, yang pihak sekolah bisa lihat hanya guyuran air dari ember di aula.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, dan aku membayangkan Megan sedang dalam perjalanan ke sekolah bersama Sarah Bakker—berusaha meyakinkan Sarah bahwa acara kami adalah acara terhebat untuk Peter Rain yang pernah diselenggarakan. Kalau kami membatalkan kehadirannya, mana mungkin dia ingin datang lagi?

Rasanya seperti ada seseorang yang menusuk dadaku keras-keras dengan ujung tombak. Membuat napasku seperti akan tersentak ke luar dan membuatku ingin menangis. Aku bisa menahan napasku, tapi aku tidak bisa menahan air mataku lagi.

"Kau menangis?" tanya Nathan.

Aku menghiraukannya. Aku tidak mau berbicara dengannya lagi. Aku tidak mau mendengar suaranya lagi.

"Hei, aku hanya bercanda," kata Nathan dengan nada suara sedikit memaksa. "Kupikir itu akan lucu dan menyenangkan."

Aku mendongak dan menatap Nathan murka. "Tentu. Menyenangkan sekali. Terima kasih untuk candaanmu. Benar-benar lucu."

Nathan mengatakan sesuatu lagi, tapi aku tidak mendengarnya, karena aku sudah berbalik dan berlari pergi.

[']

Aku menutupi tubuhku dengan selimut dan meringkuk di dalamnya seperti janin. Aku benar-benar benci Nathan Adinata.

Tadi begitu aku meninggalkan tempat parkir motor, aku bertemu dengan Rean. Kupikir saat itu Rean akan terkena serangan jantung atau apa melihatku yang sangat kacau. Tapi tidak. Rean malah merangkulku dan berkata bahwa ia akan membahas masalah ini dengan Nathan. Dia bilang, dia sama sekali tidak ikut campur dan tidak tahu apa-apa soal rencana Nathan.

Rean merangkulku dan membawku kembali ke aula. Barang-barang yang dijatuhkan sebagian sudah dirapikan, sebagian masih berceceran di lantai—termasuk cupcake-cupcake ibuku. Aku mengalihkan pandangan dari cupcake-cupcake itu. Melihatnya benar-benar membuatku ingin menangis.

Tiba-tiba Megan datang entah darimana dan mengatakan padaku bahwa semua yang berurusan dengan Sarah Bakker sudah diurus. Megan diberitahu oleh Kenzo bahwa acara kacau dan dia sebaiknya membatalkan kedatangan Sarah. Megan berkata, Sarah tidak masalah dan bersedia datang lagi (jika dia bisa) bila acara semacam ini diadakan lagi. Bila sekolah mengizinkan.

Aku sudah berjanji kepada Bu Neli untuk menemuinya hari Senin. Aku tahu apa pun yang akan dibicarakannya tidak akan baik. Rasanya aku benar-benar ingin menangis saja dan menghilang dari muka bumi.

Aku pernah berkata bahwa menangis tidak ada gunanya. Memang benar. Tapi aku tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan sekarang. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain menangis sekarang. Oh, tepatnya, aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain menangis dan betapa aku membenci Nathan Adinata.[]

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now