BAB IV

24.1K 3.5K 310
                                    

Megan berdiri di depan kelasku sambil melambai-lambaikan tangannya—isyarat agar aku segera keluar kelas menghampirinya.

Aku mengangguk sambil mengacungkan jempolku. Segera setelah aku selesai merapikan semua barang-barangku yang berserakan di atas meja, aku melangkah keluar kelas lalu segera menghampiri Megan.

"Aku baru saja dari ruang kepala sekolah," kata Megan begitu aku mendekat kepadanya.

Aku berkata selagi kami berjalan beriringan menjauhi pintu kelasku, "Untuk meminta persetujuan mengenai acara Next Door to the Rain?" tanyaku.

"Tentu saja," jawab Megan sambil menatapku seolah-olah aku baru saja bertanya, apakah Bumi berbentuk bulat. "Kau pikir apa gunanya aku ke sana? Untuk mengobrol dan menggosipkan tren pakaian terbaru dengan nenek tua itu?"

Aku terkekeh pelan. "Lalu? Apa katanya? Apakah dia setuju?" tanyaku.

Megan mengangguk. "Tentu saja. Dia juga penggemar novel Peter Rain, jadi tentu saja dia setuju."

Aku tersenyum lebar. "Bagus. Jadi kita harus segera mengumumkan berita baik ini ke seluruh anggota," kataku.

"Menurutku, satu sekolah sekalian lebih baik," jawab Megan.

"Kenapa?" tanyaku. "Yang lainnya tidak akan peduli. Mereka benci Peter Rain."

Megan memutar bola matanya. "Itu kan Nathan. Berhenti menyamakan semua orang dengan cowok itu," katanya. "Sudahlah, percaya padaku. Satu sekolah perlu tahu tentang acara kita secepatnya."

Aku menghela napas pasrah. Kadang aku bingung siapa sebenarnya yang ketua di sini. Tapi kurasa, otak Megan memang lebih genius dalam hal-hal seperti ini. (Dia hanya tidak mau repot mengurus ini-itu jika menjadi ketua.) Jadi aku berkata, "Iya, deh. Terserah kau saja."

[']

Sekarang sudah lumayan sore. Sekolah sudah sepi. Namun, aku dan beberapa anggota Komunitas Hujan masih berada di perpustakaan. Mengurus berbagai macam urusan yang perlu kami kerjakan.

Aku sendiri sedang sibuk membuat poster dibantu beberapa orang lainnya.

"Jangan lupa cantumkan subjudul yang kuusulkan kemarin," kata Kenzo saat dia melewati mejaku.

Aku mendongak dan menatapnya. "Memangnya apa subjudul yang kausulkan kemarin?" tanyaku. "Aku lupa."

Kenzo mendengus dengan sebal. "Kau tidak mungkin lupa."

"Aku benar-benar lupa," jawabku sambil memutar kedua bola mataku.

"Coba tanyakan kepada Leo—seharusnya dia mencatat," usul Kenzo.

"Mencatat apa?" seru Leo yang sedang mengerjakan sesuatu di meja sebelahku.

"Apa kau mencatat subjudul yang diusulkan oleh Kenzo kemarin?" tanyaku.

Leo mengambil buku catatannya lalu membolak-balik halamannya. Setelah beberapa saat dia mendongak lalu menggeleng. "Tidak," katanya. "Tapi sejauh yang aku ingat, subjudul itu payah sekali."

Aku memutar kedua bola mataku. "Terima kasih, Leo. Jawabanmu sangat membantu." Kemudian, aku menoleh kepada Kenzo lalu bertanya, "Memang apa subjudulnya?"

Kenzo kemudian menggaruk tengkuknya. "Eh, apa, ya? Aku juga lupa, sih."

Aku mendengus lalu berkata, "Ya sudah, tidak akan kucantumkan."

"Terserah kau saja, lah," kata Kenzo lalu pemuda itu berlalu pergi.

Aku memutar kedua bola mataku lalu kembali mengerjakan pekerjaanku. Menyusahkan saja, sih.

Beberapa saat kemudian, Megan datang menghampiri mejaku sambil membawa setumpuk kertas. "Aku sudah mengubungi Sarah Bakker," katanya memberi tahu. "Dia setuju menghadiri acara kita. Katanya, kebetulan bulan depan dia sedang berada di Indonesia."

Aku mendongak menatapnya dengan bersemangat. "Kau serius?"

"Apakah aku tampak bercanda?" gerutu Megan.

Aku bersorak kegirangan. Megan tersenyum lebar. Ia kemudian berjalan mendekatiku dan memerhatikan posterku. "Kalau bisa, poster ini harus sudah ditempel di penjuru sekolah besok pagi."

Aku memutar kedua bola mataku. "Aku ketuanya. Harusnya terserah aku."

"Aku wakilnya," jawab Megan.

"Terus kenapa memangnya?" tanyaku. "Bukankah ketua memiliki wewenang lebih besar?"

Megan hanya mengangkat bahunya lalu kembali memerhatikan posterku.

"Aku punya firasat, acara kita kali ini akan sangat ramai," kata Megan.

Aku mengangguk-angguk saja. Mataku tetap terpaku pada layar komputer di hadapanku ketika aku berkata, "Hem."

"Serius," jawab Megan. "Rean pasti akan datang."

"Rean?" tanyaku tanpa mengalihkan tatapanku.

"Iya, Rean" jawab Megan. Aku bisa melihat dari ekor mataku bahwa dia mengangguk. "Rean Hardana" lanjutnya.

Aku berhenti dari kegiatanku membetulkan poster untuk berpikir sejenak. "Yah, kurasa aku pernah mendengar namanya," jawabku setelah beberapa saat. "Tapi, memangnya kenapa kalau dia datang?"

"Serius?" tanya Megan. "Kau tidak tahu siapa Rean?"

Aku menggeleng lalu kembali menekuni posterku.

Megan menghembuskan napasnya. "Dia anggota tim basket."

"Lalu?"

"Semua anggota tim basket adalah cowok-cowok keren, Ana!" seru Megan. Dia terdengar tidak percaya. "Termasuk Rean. Rean datang, artinya semua cowok-cowok basket akan ikut dan—"

Aku segera menoleh ke arahnya. "Tidak boleh."

"Hah?" Megan tampak kebingungan.

"Aku tidak mau Nathan Adinata itu datang juga," jawabku sambil memajukan bibirku.

Tawa Megan berderai. "Oh, aku tidak percaya kau masih sebal terhadap cowok tampan yang satu itu."

"Dia pembenci Peter Rain nomor satu di dunia," jawabku. "Bagaimana kau bisa tidak membencinya?"

"Dia tampan," jawab Megan sambil nyengir. "Kau tidak bisa membenci orang tampan terus-menerus, Ana."

Aku memutar kedua bola mataku. "Tentu bisa," jawabku. "Lagi pula, masih banyak cowok tampan yang tidak menyebalkan di luar sana."

"Bagaimana dengan Rean?" usul Megan.

Aku mendengus. "Aku bahkan tidak tahu yang mana Rean."

Giliran Megan yang mendesah. "Kau ini," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kau begitu tidak peduli dengan keadaan di sekitarmu. Padahal keadaan sekitarmu, peduli denganmu," kata Megan.

"Masa?" tanyaku.

Megan mengangguk. "Kau ketua Komunitas Hujan. Ketua apapun pasti akan langsung dikenal."

"Seperti Nathan," dengusku. Memikirkan Nathan selalu membuatku sebal setengah mati.

"Apalagi Nathan," jawab Megan. "Ketua tim basket yang tampan. Siapa yang tidak tahu dia?" Kata-kata itu diikuti oleh kikikan Megan sendiri.

"Hem."

"Omong-omong, ini yang ingin kukatakan sedari tadi," kata Megan.

Aku segera menoleh ke arahnya. "Apa?"

"Rean menyukaimu," jawab Megan sambil nyengir.

Aku mengerutan dahiku lalu kembali menekuni posterku. "Aku bahkan tidak tahu yang mana Rean," kataku, mengulangi kata-kataku sebelumnya.

"Tapi—"

"Tapi, Peter Rain sempurna," selaku. "Kenapa harus memikirkan cowok lain ketika ada cowok sempurna seperti Peter Rain?"[]



Next Door to the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang