BAB XXXIII

13.6K 2.4K 284
                                    

Aku tidak memikirkan apa-apa lagi sebelum berlari meninggalkan ruang Komunitas Hujan. Aku berlari menuju lapangan parkir motor yang terletak tepat di sebelah dinding luar aula. Aku bahkan tidak repot-repot menyeka air mataku.

Rasanya seperti deja vu. Aku mengulangi semua yang kulakukan beberapa bulan yang lalu—berlari menuju lapangan parkir motor dengan air mata bercucuran. Yang membuat ini bukan deja vu adalah, saat ini aku tidak basah kuyup seperti waktu itu. Dan lagi pula, saat mengalami deja vu, kau merasa pernah mengalami hal yang baru saja kau alami, hanya saja kau tidak yakin, di mana atau kapan tepatnya kau pernah mengalaminya. Saat ini aku benar-benar yakin dan sadar kalau Nathan sudah pernah menghancurkan acaraku, dan dia mengulanginya.

Aku seharusnya tidak terkejut melihat Nathan dan teman-temannya di lapangan parkir. Ada tangga yang disandarkan di dinding, dan ember-ember berserakan di lantai.

Dan ada Nayla. Dia berdiri di sana dengan ekspresi marah. Nayla memegang tangan Nathan sambil berkali-kali berkata, "Kau seharusnya tidak usah datang, Nathan. Kau hanya menghancurkan segalanya!"

Saat itu Nathan mendongak dan tatapan kami beradu.

"Tidak mau merusak pai-pai moka buatanmu, ya?" tanyaku dengan sinis.

Nathan membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Tapi aku tidak tahan lagi. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa menahan diriku dari menangis sejadi-jadinya di depan orang-orang ini. Jadi aku membalikkan tubuhku dan melangkah pergi.

"Hei!" Aku bisa mendengar Nathan berlari di belakangku. Aku mempercepat langkahku.

Nathan berhasil menangkap lenganku dan membalikkan tubuhku sehingga aku menghadapnya sekarang. Lapangan parkir motor sudah tidak terlihat dari sini. Pintu masuk sekolah hanya beberapa langkah lagi. Aku bisa berlari ke sana dan menghilangkan diriku di bilik toilet atau semacamnya.

Tapi sebelum aku bisa berpikir untuk kabur, Nathan menyentakkan tanganku, membuatku terpaksa menatapnya.

"Dengarkan dulu!" Nathan menatapku tajam.

"Apa yang perlu kudengar?" tanyaku dengan suara yang, aku sendiri benci mendengarnya. "Bahwa kau lupa menambahkan sabun dan sampo? Oh, atau kau sudah menambahkannya? Maaf aku tidak melihat pertunjukan hebatmu. Aku sedang tidak ada di aula tadi, aku—"

"Bukan aku ataupun teman-temanku yang melakukannya!" seru Nathan. Dia tampak benar-benar tidak sabar. "Mana mungkin aku dan teman-temanku mengulangi apa yang sudah kami lakukan? Kalaupun memang itu kami, kami tidak akan mungkin menggunakan cara yang sama—benar-benar tidak kreatif!"

"Aku tidak mau dengar," kataku sambil membalikkan tubuhku.

Nathan kembali menahan lenganku dan memutar tubuhku. "Kau harus dengar! Aku tidak mungkin merusak acaramu lagi," katanya. Raut wajahnya melunak. "Kau harus percaya dan dengarkan aku. Atau setidaknya, dengarkan aku dulu. Setelah itu, terserah kau mau percaya atau tidak. Walaupun sebaiknya, kau percaya. Karena aku akan mengatakan yang sebenarnya terjadi."

"Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak mau mendengarmu?" tanyaku tanpa menatap Nathan. Aku membalikkan tubuhku dan buru-buru melangkah menjauhi Nathan.

Aku belum berjalan jauh ketika Nathan lagi-lagi menahan lenganku.

Aku menyentakkan lenganku dan menatap Nathan tajam. "Apa yang akan kau katakan? Bahwa kau hanya iseng melakukannya? Begitu, kan? Lalu kau akan mengatakan bahwa kau menyesal! Kemudian kau akan berkata bahwa kau bersedia membantuku mengembalikan Komunitas Hujan yang kemungkinan besar akan dibubarkan selamanya setelah ini. Lalu kau juga akan membantu kami mengadakan acaranya lagi. Dan kau mungkin akan membantu membuat pai, mungkin rasanya lain, mungkin kau akan membuat pai rasa cokelat atau—"

Saat itu Nathan menciumku. Di bibir. Matanya terpejam, sementara mataku sendiri membelalak terkejut. Air mataku tetap berjatuhan, membuatku tidak bisa mengecap apa-apa kecuali air mataku. Mungkin Nathan juga begitu.

Aku terlalu terkejut untuk melakukan apa pun. Aku tidak membalas ciumannya, tapi aku juga tidak mendorongnya menjauh. Aku hanya berdiri diam. Nathan seperti hanya mencium patung. Patung yang mengeluarkan air mata.

Setelah beberapa saat, Nathan akhirnya menarik diri.

"Kenapa kau melakukan itu?" tanyaku. Aku bisa mendengar getaran dalam suaraku.

Nathan menatap mataku lekat-lekat. "Karena aku ingin melakukannya. Karena aku—"

"Ya, karena kau ingin." Aku tertawa sinis sambil menyeka air mataku. "Apa pun yang kau inginkan selalu terjadi, bukan begitu? Kau ingin acaraku hancur? Selamat, kau berhasil."

Aku membalikkan tubuhku dan berlari meninggalkan Nathan. Sekali itu, Nathan tidak menahanku.

Aku berlari menuju kamar mandi cewek dan mengunci pintunya.

Nathan menciumku. Aku tidak percaya. Aku benar-benar tidak percaya bisa-bisanya dia melakukan itu. Dia benar-benar mengecewakanku. Dia membuatku kecewa ketika kurasa, aku sudah mulai... menyukainya.[]

Next Door to the RainUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum