BAB X

17.8K 2.7K 146
                                    

Aku adalah yang terakhir keluar dari ruang Komunitas Hujan. Seusai rapat, kebanyakan teman-temanku langsung kabur untuk mengisi perut mereka. Megan sendiri harus buru-buru pulang karena dia harus menghadiri acara keluarga. Jadi, tinggal aku yang harus merapikan ruangan sehabis rapat.

Setelah selesai, aku menyambar tasku dari meja. Aku mematikan lampu, lalu melangkah keluar dari ruangan. Ketika aku sedang mengunci pintu ruangan, pintu di sebelahku bergerak terbuka dan keluarlah cowok yang tampaknya doyan sekali muncul di mana-mana. Aku sampai heran.

Nathan Adinata berjalan keluar dari ruangan dengan santainya. Dia menutup pintu lalu pandangannya jatuh kepadaku.

"Apa kau harus selalu memelototiku setiap kali kita bertukar tatapan?" tanyanya. "Wajahmu mulai menakutiku."

Aku menarik kunci pintu dan mengantonginya sambil mengangkat bahu. "Tidak usah dilihat kalau begitu."

"Perasaanku, kau yang melihatku duluan," kata Nathan.

"Cowok tidak biasanya menggunakan perasaan dalam berpikir," balasku.

Nathan memutar kedua bola matanya. "Menurut pikiranku dan berdasarkan fakta sangat-cowok yang ada, kau yang melihatku duluan."

"Itu karena kau selalu muncul di mana-mana," jawabku.

"Yah, kuntilanak juga muncul di mana-mana. Tapi kau tidak terus-menerus memelototinya. Iya kan?"

"Itu karena kuntilanak tidak terlihat!" balasku. "Lagipula, kalaupun memang aku melihat kuntilanak, tahu dari mana aku tidak memelototinya? Bisa saja aku melotot kepadanya. Jangan sok tahu."

"Aku tidak sok tahu," balas Nathan. "Tapi aku cukup yakin kau tidak menatap cermin sambil melotot."

Aku nyaris saja memelotot. Namun, aku tahu itu hanya akan membuat Nathan makin menjadi-jadi.

Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, Nathan berkata, "Omong-omong, aku baru tahu kau berteman dengan Rean Hardana."

"Kami baru mengobrol sekali."

"Masa?" tanya Nathan sambil mengangkat alis kananya.

Aku mengangguk.

"Tapi tadi Rean berkata, kalian sudah sangat akrab," kata Nathan sambil menyandarkan tubuh ke dinding di belakangnya.

Aku memutar kedua bola mataku. "Dia bohong."

Nathan mengangguk-angguk. "Yah, Hardana yang satu itu memang payah. Dia hanya bisa bergaya saja—tidak seperti aku."

"Memangnya kau kenapa?" tanyaku dengan sinis. "Kau juga bisanya bergaya saja."

"Aku tidak berkata bahwa aku tidak bisanya bergaya saja," balas Nathan dengan menyebalkan. "Aku hanya berkata 'tidak seperti aku', karena Hardana kan memang tidak sepertiku. Wajahnya saja tidak mirip."

Kalau enak, Nathan pasti sudah kujadikan sate dan kumakan sekarang.

"Terserah kau saja," kataku.

Aku mulai berjalan meninggalkan Nathan ketika cowok itu berkata, "Bukan apa-apa. Tapi, Hardana itu bukan cowok yang pantas didekati. Jadi, hati-hati saja." Dia cepat-cepat menambahkan, "Tapi kau jangan berbesar rasa. Kalau kau mau dekat-dekat dengannya, silakan saja."

Aku memutar kedua bola mataku. "Ya, terima kasih atas faktanya."

Aku baru akan berjalan lagi ketika Nathan menyahut, "Mau satu fakta lagi?"

"Apa?"

"Peter Rain itu novel terpayah yang pernah ada di dunia."

Seharusnya aku tahu.

Next Door to the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang