BAB IX

17.8K 2.8K 43
                                    

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku segera merapikan barang-barangku dan bergegas keluar dari kelas. Begitu melangkah ke luar kelas, aku langsung menjumpai Megan yang sedang tersenyum lebar ke arahku.

"Apa?" tanyaku begitu aku sudah berdiri di sebelah Megan.

Megan berjalan meninggalkan pintu kelasku sambil berkata, "Kudengar kau tadi kena hukuman lagi dengan si Adinata."

Aku berjalan di sebelah Megan sambil mendengus sebal. "Memang," jawabku. "Padahal aku tidak melakukan hal yang salah."

"Masa?"

"Iya!" jawabku. "Yah, kecuali kalau Pak Rudi menganggap tindakan memperjuangkan novelku yang direbut begitu saja oleh Nathan adalah kesalahan."

"Kalau kau bisa memperjuangkan novelmu sambil sekaligus memerhatikan pelajaran Pak Rudi, kurasa dia tidak akan keberatan," kata Megan.

Aku mengangkat bahuku. Kemudian, aku merogoh ke dalam tasku dan mengeluarkan novel Mr. Peter-ku yang sudah rusak. Jika melihat novelku yang sudah ancur lebur seperti ini, rasanya aku ingin menangis saja. Tapi tidak. Aku tidak akan membiarkan Nathan tahu dia berhasil membuatku menangis.

Megan tampak terkejut melihat novelku. Ia meraih novelku lalu meneliti seluruh bagiannya. "Nathan menginjak novelmu lagi?"

Aku mengangguk dengan sebal. Aku tidak akan berbicara. Aku yakin sekali jika aku berbicara, suaraku akan terdengar mirip dengan suara tikus terjepit. (Walaupun aku juga belum pernah mendengar suara tikus terjepit, sih—tapi kurasa mirip.)

Megan mengembalikan novelku ke tanganku. "Nih."

"Kau tidak marah terhadap Nathan?" tanyaku tidak percaya. (Untunglah, ternyata suaraku tidak terdengar menyedihkan.)

Megan berpikir sebentar kemudian mengangkat bahunya. "Aku tidak terima dia menginjak-injak novel Mr. Peter begitu saja."

Akhirnya Megan bisa membenci Nathan juga! Aku nyaris bertepuk tangan bahagia dan menari-nari penuh kemenangan sebelum Megan melanjutkan, "Tapi karena yang dia injak itu bukumu, aku tidak tahu apakah aku semarah itu."

Aku memelotot. Sementara itu, Megan tertawa melihat ekspresiku.

Ia kemudian meletakkan tangannya di bahuku lalu berkata, "Aku ada urusan sebentar di ruang guru. Kau langsung saja ke ruang Komunitas. Aku akan menyusul."

"Oke."

[']

Aku sedang berjalan melewati koridor kelas dua bellas ketika tiba-tiba, seseorang memanggil namaku. Aku menoleh dan mendapati seorang pemuda yang wajahnya-tidak-asing-tapi-aku-tidak-tahu-namanya, berjalan ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku begitu pemuda itu mendekat.

"Um." Pemuda itu menggaruk tengkuknya—tampak bingung harus mengatakan apa. Kemudian, dia bertanya, "Kau mau pergi ke mana?"

"Ke ruang Komunitas Hujan," jawabku, masih tidak yakin akan apa yang diinginkan makhluk di hadapanku ini. "Memangnya kenapa?"

"Oh, bagus. Ruang itu ada di sebelah ruang basket, kan?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Aku hendak ke ruang basket. Bagaimana kalau kita ke sana bersama?" usulnya.

"Eh—baiklah."

Jadi, aku berjalan dengan cowok itu berjalan di sebelahku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi aku juga penasaran mengapa cowok di sebelahku ini tiba-tiba mengajakku berbicara. Seingatku (dan walaupun aku bukan Mnemosyne, ingatanku cukup bisa diandalkan), aku belum pernah berbicara dengan cowok ini.

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now