BAB XXXIX

17.3K 2.6K 244
                                    

Chapter ini adalah chapter terakhir sebelum epilog.
Epilog di-post berbarengan dengan chapter ini.
---

Aku berjalan dengan canggung ke arah Nathan. "Hai," balasku. Aku berhenti beberapa langkah dari kursi yang diduduki Nathan.

Nathan mengangkat alis kanannya. "Apa kau akan terus berdiri di situ?"

"Tidak," sahutku. Aku akhirnya duduk di kursi sebelah Nathan. Akan sangat memalukan kalau aku hanya berdiri saja di hadapannya seperti orang bodoh.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku.

Nathan tersenyum. Dia tampak bangga. "Aku tahu kau akan mengatakan 'ya' dan mengembalikan jaketku."

Aku memutar kedua bola mataku. "Kau tidak memberikan pilihan apa pun selain 'ya' di suratmu. Kecuali kalau kau memberikan pilihan 'ya' atau 'tidak'."

"Rama membantuku menulisnya. Salahkan saja dia," sahut Nathan. Ia mengusap-usap tengkuknya.

"Rama?"

"Temanku."

"Jadi bukan kau yang memikirkan semua yang kau katakan di surat itu?" tanyaku. Aku tidak bisa menahan kekecewaanku.

Nathan tertawa. "Jadi kau berharap aku yang memikirkan semuanya?"

"Tidak juga!"

"Aku memang menulis dan memikirkannya," kata Nathan sambil tertawa. "Memikirkan apa yang membuatku begitu sinting sehingga mau saja menulis apa yang Rama katakan."

Aku memelotot. Nathan tertawa terbahak-bahak.

"Bercanda," katanya. "Mana mungkin Rama bisa menulis sesuatu yang sekeren itu? Dia hanya membantuku saja dengan ide-ide payahnya. Jadi kusingkirkan saja ide-idenya."

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Untunglah Nathan berbicara lagi, menyingkirkan kewajibanku untuk mengatakan sesuatu.

"Jadi, kau juga menyukaiku, kan?"

Aku bisa merasakan wajahku memerah. Perutku bertambah mulas. "Hah?"

Nathan tertawa. "Apakah kau membaca suratku lagi sebelum membalasnya? Kau ingat kan apa yang kuinginkan? Aku ingin kau mengembalikan jaketku, aku ingin kau memaafkanku, dan aku ingin kau. Aku bilang, katakan 'ya' kalau kau sudah siap memenuhi keinginanku. Dan maksudku, tiga-tiganya."

Aku bisa merasakan darah mengalir deras ke wajah sialanku.

Nathan tertawa lagi. Dia tampak benar-benar senang. "Jadi, kurasa sekarang kita berkencan."

"Apa?" Aku tidak berani menatapnya.

"Kau dengar apa kataku," sahutnya. "Hei, Ana. Lihat aku."

Aku terpaksa melihat wajah sialannya yang tampa—

Maksudku, tampak menyebalkan.

"Apa?" tanyaku.

"Wajahmu tidak mungkin memerah kalau kau tidak menyukaiku. Iya, kan?" tanya Nathan sambil menampakkan senyum Nathan Anak Baik. Sial.

"Tidak tahu," gumamku dengan sebal. Kenapa sih, wajah dan perutku tidak bisa diajak bekerja sama sekarang?

Nathan tertawa. "Aku tahu kau menyukaiku."

"Apa—"

"Aku menyukaimu," sela Nathan. "Dengar, kan? Aku mengatakannya lagi. Walaupun itu terdengar sangat aneh."

"Ya sudah, tidak usah mengatakannya kalau begitu."

"Aku ingin kau mendengarnya."

"Kenapa?" Aku menatap Nathan.

"Agar kau terpaksa membayarku setelah mengatakan hal aneh seperti itu," jawab Nathan. Ujung kanan bibirnya terangkat.

"Membayar apa—"

Saat itu Nathan menciumku lagi. Dan kali ini, dia tidak lagi mencium patung yang menangis.[]

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now