BAB XXXV

14.4K 2.5K 271
                                    

"Bagaimana perasaanmu soal ciuman itu?" tanya Megan.

Kami sekarang sedang berada di kelas Megan. Kelas itu kosong, hanya ada aku dan Megan di dalamnya. Sekarang jam istirahat, dan nyaris semua murid pergi ke kantin. Aku tidak pergi ke kantin karena, entahlah, kurasa aku hanya tidak ingin bertemu dengan orang-orang (atau mungkin sebenarnya aku hanya tidak ingin bertemu dengan Nathan). Sementara Megan, kurasa dia hanya ingin menemaniku. Untungnya dia membawa beberapa permen dan cokelat di tasnya untuk kami makan sekarang.

"Aku tidak tahu," jawabku. "Itulah yang membuatku benar-benar sebal dan kacau. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku. Kadang aku merasa benar-benar kecewa dan marah. Kadang aku hanya penasaran. Kadang aku merasa—"

"Apa?" tanya Megan.

Aku menunduk. "Ini konyol sekali. Tapi kadang aku merasa entahlah... senang?"

"Kurasa itu wajar," kata Megan.

Aku mengangkat wajahku dan menatapnya. "Wajar?"

"Tentu saja." Megan menggigit cokelat di genggamannya. "Seperti yang pernah kukatakan, kau dan Nathan sudah akrab. Dan mungkin kau sendiri tidak sadar, tapi kau suka tersenyum ketika melihat Nathan di saat-saat tertentu—ketika cowok itu sedang tidak melihatmu, tentu saja. Dan aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanmu yang sebenarnya, tapi mungkin, kau menyukai Nathan.

"Ketika menurutmu Nathan mengacaukan acara kita kemarin, kau benar-benar kecewa padanya. Kau sudah mengenalnya dan tahu sisi-sisi baik dari dalam dirinya. Dan dia mengecewakanmu. Ketika dia menciummu, kau benar-benar kebingungan. Sebagian dirimu ingat akan kebaikan yang dilakukan Nathan dan kau menjadi Ana yang Suka Tersenyum Saat Melihat Nathan, dan sebagian dirimu yang lainnya menjadi Ana yang Membenci Nathan," jelas Megan.

Aku memasukkan beberapa butir permen cokelat ke dalam mulutku. Aku mengunyahnya sambil berpikir. Mungkin yang dikatakan Megan memang benar. Hanya saja— "Kalau memang begitu, lalu apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyaku.

"Kau mau jawaban jujur?" tanya Megan.

Aku mengangguk.

"Kau harus mendengarkan penjelasan Nathan. Aku sendiri masih yakin cowok itu tidak bersalah," kata Megan.

Aku menunduk. Aku tahu itu yang akan dikatakan Megan. Itu yang akan dikatakan semua orang. Aku hanya tidak tahu apakah aku siap.

[']

Aku menutup pintu lokerku dan baru saja hendak berbalik untuk menuju ke kantin ketika seseorang tiba-tiba berdiri di depanku. Aku tidak perlu mengangkat wajah untuk tahu siapa itu. Perutku yang terjatuh sudah memberikan jawabannya.

"Kau mau ke mana?" tanya Nathan.

"Ke kantin," jawabku tanpa mengangkat wajahku. Ini jam istirahat kedua dan aku benar-benar lapar. Saat-saat seperti ini yang membuatku membenci perutku. Perutku terasa lapar dan mulas pada saat bersamaan. "Kenapa? Bu Neli meminta kita ke ruangannya?" tanyaku.

"Tidak," jawab Nathan. "Aku sudah bertemu dengannya pada jam istirahat pertama tadi. Dan aku sudah menjelaskan semuanya."

"Lalu?" tanyaku. Aku mengangkat wajah tapi tidak benar-benar menatapnya. Aku menatap sesuatu di belakang kepala Nathan. "Apakah dia membubarkan komunitasku?"

"Tidak," jawab Nathan lagi. "Dia sama sekali tidak menyalahkanmu. Atau aku."

Aku tersenyum sinis. "Apa kau menghabiskan waktu semalaman untuk mengarang apa yang kau ceritakan kepada Bu Neli hari ini?"

"Tidak! Aku menceritakan hal yang sebenarnya," sahut Nathan. "Dan kau harus mendengarkanku juga—seperti Neli mendengarkan dan memercayaiku."

Aku menyenderkan tubuh ke loker di belakangku dengan lelah. "Ya, baiklah. Aku akan mendengarkanmu."

Nathan terdengar luar biasa lega ketika menghembuskan napasnya. "Aku dan teman-temanku ada di lapangan basket ketika semua itu terjadi. Lapangan basket tidak terlalu jauh dari tempat parkir motor dan suara guyuran air itu cukup keras sehingga kami bisa mendengarnya. Kami langsung berlari menghampiri tempat parkir dan mendapati Hardana dengan teman-teman tim futsalnya di sana. Dan ada Nayla juga.

"Anak-anak tim futsal yang cupu itu langsung pergi begitu melihatku dan teman-temanku datang. Hardana juga mengikuti mereka tidak lama kemudian. Hanya Nayla yang tetap di situ. Dia memarahiku karena aku membatalkan rencananya melempar handuk ke dalam aula. Saat itulah kau datang." Nathan menghela napas lalu memejamkan matanya sejenak. "Mereka juga yang menyembunyikan kostum-kostum untuk drama dan mengambil amplop berisi uang kalian. Aku mengatakan yang sebenarnya, Ana."

Aku benar-benar berharap dia tidak mengucapkan namaku. Dia nyaris tidak pernah mengucapkan nama 'Ana'. Kalau dia memanggilku, dia hanya berkata 'Hei', atau kadang-kadang dia akan memanggil 'Iswara', tapi kurasa baru sekali ini dia benar-benar mengucapkan 'Ana'. Dan dia memilih saat yang benar-benar salah untuk membuat perutku tambah mulas.

"Dan soal ciuman itu," kata Nathan. "Aku benar-benar minta maaf kalau aku membuatmu marah. Aku hanya ingin menghentikamu dari omong kosong yang kau katakan. Dan aku juga ingin membuatmu berhenti menangis dan bersedih," katanya. Ia mengusap-usap tengkuknya. "Tapi kurasa, apa yang kulakukan salah dan malah memperburuk keadaan. Aku benar-benar minta maaf."

Aku mengigit bibirku. Tidak yakin apa yang harus kulakukan atau kukatakan. Apa yang baru saja diceritakan Nathan soal kejadian di acaraku cukup masuk akal, tapi, apa yang bisa membuatku percaya bahwa dia tidak sedang berbohong? Nathan memang berkata dia tidak punya perasaan apa pun terhadap Nayla, tapi bagaimanapun juga, Nayla masih merupakan pacarnya dan bukannya tidak mungkin mereka mengatur skenario ini bersama. Lagi pula, untuk apa Rean dan Nayla menghancurkan acaraku? Mereka memang bukan temanku, tapi mereka tidak membenciku. Kurasa.

Dan soal ciuman itu... aku tidak tahu bagaimana perasaanku setelah mendengar penjelasannya. Kurasa aku sedikit kecewa. Tapi memangnya, apa yang aku harapkan akan dikatakan oleh Nathan?

"Kau masih tidak memercayaiku, ya?" tanya Nathan.

"Aku tidak tahu," kataku pelan.

"Apa kau tidak memercayaiku karena kau pikir Hardana itu lebih baik daripada aku?" tanyanya. "Atau karena Nayla pacarku?"

Aku benar-benar takut dia bisa membaca pikiranku.

Nathan mendengus. "Kalau ini bisa membuatmu percaya padaku, akan kukatakan ini. Hardana dan Nayla ingin merusak acaramu karena mereka pikir kita berdua sedang berkencan. Hardana mengira, kau menolaknya karena kau menyukaiku. Dan Nayla berpikir, aku menjauh darinya karena aku menyukaimu—padahal aku memang tidak pernah dekat dengannya," jelas Nathan.

Aku menarik napas. Itu cukup masuk akal. Rean memang pernah berkata bahwa ia mengira aku menyukai Nathan karena aku sudah berhasil melihat sisi baik dari diri Nathan. Tapi apa yang membuat Nayla berpikir Nathan menyukaiku? Memangnya, apa yang dilihat Nathan dariku?

"Kalau kau tidak percaya juga," kata Nathan, menyela pikiranku. "Aku akan memutuskan Nayla hari ini juga. Dan kau tidak perlu takut Nayla dan geng norak sialannya itu akan menindasmu. Akan kupastikan mereka tidak akan bisa menyentuhmu."[]

Next Door to the Rainजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें