BAB XXXIV

13.9K 2.3K 187
                                    

Megan-lah yang menemukanku di kamar mandi cewek. Dia menanyakan apa yang terjadi padaku dan mendengarkan ceritaku tanpa mengatakan apa pun, bahkan ketika aku sampai pada bagian ciuman itu. Megan hanya menghiburku lalu berkata bahwa sebaiknya aku keluar dari toilet sebelum aku ikut membusuk bersama jamur-jamur menjijikan yang ada di toilet.

Setelah mencuci mukaku berkali-kali, akhirnya aku meninggalkan toilet bersama Megan dan kembali ke aula. Acaranya sendiri batal diadakan. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh pihak sekolah kepada Komunitas Hujan setelah ini, tapi aku cukup yakin apa pun itu, itu tidak akan menjadi hal yang baik.

Sekarang aku dan semua anggota Komunitas Hujan sedang berada di aula. Kami baru saja selesai merapikan kekacauan yang disebabkan Nathan dan teman-temannya. Tampaknya nyaris semua orang setuju bahwa yang melakukan ini adalah Nathan dan cowok-cowok dari tim basket itu. Walaupun tidak semuanya. Beberapa anggota Komunitas Hujan yakin bahwa Nathan tidak mungkin mengulangi kesalahannya dengan cara yang sama—itu sama sekali bukan Nathan. Mungkin mereka benar, tapi aku tidak tahu apakah mereka benar. Nathan benar-benar mengacaukan pikiranku dengan ciuman itu. Dia mengubah segalanya hanya dengan menyentuhkan bibirnya dengan bibirku selama beberapa detik.

"Hei." Megan berdiri di sebelahku. "Kau ingin pulang sekarang? Atau kau ingin menunggu ibumu? Aku bisa menemanimu kalau kau ingin pulang sekarang."

Aku menghela napas. "Aku ingin pulang sekarang," kataku. "Tapi aku tidak ingin merepotkanmu."

"Kau sama sekali tidak merepotkanku," kata Megan sambil merangkul bahuku. "Kau malah akan membuatku cemas kalau kau tidak mengizinkanku mengantarmu pulang."

Aku tersenyum kecil. "Ya, baiklah."

Jadi kami berdua pergi keluar dari aula dan berjalan beriringan menyusuri koridor ke arah pintu utama sekolah. Kami tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu, ketika tiba-tiba pintu itu terbuka dan Rean melangkah masuk, dengan Nayla di sampingnya.

Mereka berdua berhenti begitu melihatku dan Megan. Sesaat kukira mereka akan menertawakan kami karena acara kami yang gagal dan sebagainya, tapi ternyata tidak.

Nayla maju selangkah dan menggenggam kedua tanganku. "Aku benar-benar menyesal soal acaramu. Aku yakin sekali, acaramu pasti akan menjadi sangat hebat kalau saja tidak... dirusak."

"Terima kasih," kataku. Kalau saja aku tidak sedang sangat sedih, aku pasti sudah mengangkat alis kananku dan bertanya apakah dia yakin kepalanya tidak baru saja menabrak sesuatu. Sejak kapan Nayla menyukaiku?

"Aku juga benar-benar menyesal," kata Rean. Ia menatapku sedikit lebih lama daripada saat ia menatap Megan. "Adinata memang begitu."

Nayla menghela napas sambil melepaskan tanganku. Ia menepuk-nepuk bahu Megan sekilas kemudian berkata, "Kalau saja ada yang bisa kami lakukan untuk mencegah hal itu terjadi."

Setelah mengatakan beberapa kalimat penghibur lainnya, mereka berdua berlalu pergi.

"Oke," kata Megan. Dari raut wajahnya, aku tahu dia kebingungan. "Yang barusan itu benar-benar aneh," komentar Megan.

"Memang." Aku membenarkan.

[']

"Apakah sudah ada bukti bahwa Nathan benar-benar pelakunya?" tanya Mama sambil meletakkan semangkuk bubur ayam di hadapanku.

Hari ini hari Senin. Aku benar-benar belum siap menghadapi semuanya. Atau mungkin, aku hanya belum siap menghadapi Nathan. Yang mana sajalah. Menurutku sama saja. Aku benar-benar tidak ingin berangkat ke sekolah.

Aku mengangkat bahuku sambil memasukkan sesuap bubur ayam ke dalam mulutku.

"Menurut Papa, kalian sudah lumayan akrab," komentar Papa. "Bahkan Papa kira, kalian sedang berkencan."

Aku nyaris tersedak mendengar ucapan Papa yang terakhir. Aku berdeham pelan. "Tidak. Kami sama sekali tidak berkencan," kataku.

"Kalau memang iya juga tidak apa-apa," kata Papa. "Nathan itu anak yang baik."

Aku tidak tahu apakah Papa akan tetap menganggap Nathan anak yang baik kalau aku memberitahunya soal ciuman itu. Orangtuaku tetap menyukai Nathan walaupun ia telah merobek-robek bukuku dan menghancurkan acaraku. Mungkin mereka akan tetap menyukai Nathan walaupun dia telah menciumku. Bahkan, mungkin kedua orangtuaku akan senang Nathan menciumku, karena Nathan adalah cowok yang nyata. Aku tersenyum pahit memikirkan hal itu.

"Mama rasa, bukan dia yang menghancurkan acaramu kali ini," kata Mama. "Dia benar-benar berusaha keras membuat banyak pai moka kemarin. Kalau dia memang berencana menghancurkan acaramu, dia tidak perlu repot-repot membuat semua pai itu."

Aku hanya mengangkat bahuku dan kembali memasukkan sesendok bubur ayam ke dalam mulutku.

"Kau harus mendengar apa yang akan dikatakan oleh Nathan," kata Mama lagi. "Dia benar-benar ingin berbicara denganmu. Kemarin dia menelepon ke rumah setelah katanya, gagal menghubungi ponselmu."

"Hmm," gumamku.

Aku sama sekali tidak berniat mendengarkan apa pun yang keluar dari bibir Nathan. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar ingin bicara denganku, atau dia hanya ingin menciumku.

Kadang aku bertanya-tanya kenapa dia ingin menciumku? Apa yang akan dikatakannya kalau aku tidak menyela ucapannya waktu itu? Apakah dia menyesal telah menciumku? Apakah dia tahu bahwa ciuman itu telah mengacaukan pikiranku? Dan yang paling parah, aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya: apakah Nathan pernah mencium cewek lain?[]



a.n
sori banget kalau ceritanya makin lama makin enggak jelas mau dibawa ke mana hubungan kita gitu ya. apasi jayus. /ditendang ke valhalla/

oke. aku cuma mau ngasih tau, karena beberapa hal, Next Door to the Rain bakalan di-update setiap Senin, Rabu, dan Sabtu lagi, yey!

Ini kabar baik atau buruk? Lol.

Soalnya, NDttR (kok jadi kayak genotipe ya...) tinggal 6 bab lagi. Dan kalau aku post tiga kali seminggu, berarti kebersamaan kita tinggal dua minggu lagi kawan-kawanku : " HAHAHAHA. gaje ah.

n.b komen di chapter sebelumnya akan aku balas secepatnya ehe

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now