BAB XXIII

15.1K 2.4K 76
                                    

Suara paling menyenangkan bagi semua murid adalah bel pulang sekolah yang berbunyi dengan nyaring. Tapi tidak bagiku, selama kira-kira tiga puluh hari ke depan.

Di telingaku, bunyi bel bukan lagi kring.. kring.. kring! Bunyi itu sekarang lebih mirip dengan selamat menghabiskan waktu dengan Nathan... menghabiskan waktu dengan Nathan... waktu dengan Nathan.. Nathan.. Nathan.. Nathan!

Aku menghela napas sambil merapikan barang-barangku. Aku bangkit dari dudukku dan bergegas keluar dari kelas.

"Hei," sapa Megan yang sedang berdiri di depan kelasku.

"Hai," balasku sambil tersenyum. Aku menatap Megan dan menyadari ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Dia tampak, entahlah, hanya berbeda. Setelah memerhatikannya selama beberapa saat, akhirnya aku menyadari bahwa dia tampak lebih bahagia.

"Ada apa denganmu?" tanyaku. "Kenapa kau tampak seperti baru saja bertemu Peter Rain?"

Megan memasang cengirannya. "Kenzo mengajakku untuk pergi berkencan."

Aku nyaris tersedak. "Yang benar?"

"Yah, dia tidak benar-benar mengatakan bahwa ini kencan. Tapi dia mengajakku makan siang akhir pekan ini di tempat makan kesukaannya. Dia berkata dia hanya kesepian dan butuh teman karena Leo sedang ada acara keluarga atau apalah. Tapi ketika aku bertanya kepada Leo, dia tampak kebingungan dan berkata bahwa dia merasa sakit hati karena Kenzo mencampakannya," jelas Megan.

Aku tertawa. "Dasar Leo."

"Begitulah," kata Megan sambil tersenyum lebar.

"Ngomong-ngomong selamat," kataku.

"Terima kasih."

Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa lagi, Megan berkata, "Nathan menghampirimu. Selamat bersenang-senang menjalani hukuman di perpustakaan!"

Aku mendengus. Megan melambaikan tangannya kemudian berlalu pergi.

"Hei," kata Nathan yang tiba-tiba saja berjalan dari belakangku dan berdiri di hadapanku.

"Hem," tanggapku dengan malas.

"Kau tidak lupa pada hukuman kita, kan?" tanya Nathan.

"Kuharap aku lupa," balasku.

Nathan tertawa mencemooh. "Kau tidak mungkin lupa. Aku berani bertaruh, semalam kau menanti-nantikan datangnya hari ini agar bisa menghabiskan waktu denganku—seperti cewek-cewek kebanyakan."

Aku memutar kedua bola mataku. "Tentu saja," balasku sinis.

"Akhirnya kau mengaku juga!" seru Nathan sambil menepukkan kedua tangannya.

"Terserahlah." Aku berbalik dan melangkah keluar dari kelas. Aku bisa mendengar Nathan menyusul di belakangku.

Aku berjalan menuju perpustakaan tanpa sekali pun menoleh kepada Nathan, walaupun cowok itu beberapa kali memanggilku, aku tidak peduli.

Aku mendorong pintu perpustakaan dan langsung disambut oleh hawa dingin khas perpustakaan sekolah yang kusuka. Dulu, sebelum Komunitas Hujan memiliki ruangan tetap sendiri, kami biasanya berkumpul di perpustakaan.

Ah, Komunitas Hujan. Memikirkan Komunitas Hujan, aku jadi semakin sebal terhadap cowok di belakangku.

"Ana," sapa Bu Indah, guru Bahasa Indonesia yang setiap siang sampai sore menjaga perpustakaan. "Sudah lama kau tidak mampir ke perpustakaan."

Aku tersenyum. "Sejak Komunitas Hujan memunyai ruangan sendiri, aku tidak sempat mampir ke perpustakaan," kataku. Aku melirik Nathan sekilas sebelum berkata, "Tapi karena sekarang Komunitas Hujan sudah dibubarkan dan aku mendapat hukuman di sini, aku akan sering ke perpustakaan selama satu bulan ke depan."

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now