BAB XXI

14.5K 2.5K 166
                                    

Pagi itu, aku benar-benar tidak bersemangat masuk sekolah. Membayangkan harus melihat wajah Nathan Adinata saja sudah membuatku mual. Tapi berharap tidak melihat wajahnya hari ini juga konyol sekali. Hari ini aku dan Nathan akan menghadap Bu Neli, jadi aku tidak mungkin tidak melihat wajahnya.

Aku menarik kursi meja makan dan duduk di hadapan sepiring nasi goreng buatan Mama. Begitu aku duduk, Papa menyingkirkan koran dari hadapannya lalu menatapku. "Apakah Nathan sudah meminta maaf karena merusak acaramu?"

Aku tidak tahu darimana orangtuaku bisa mengetahui bahwa Nathan merusak acaraku. Mereka memang berkali-kali menanyakan kenapa aku pulang lebih dulu sambil menangis, tapi aku tidak menjawab pertanyaan mereka dan langsung mengunci diri di dalam kamar.

"Dari mana Papa tahu kalau Nathan merusak acaraku?" tanyaku sambil memasukkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutku.

"Anak itu menelepon kemarin," kata Mama.

"Anak itu?"

"Nathan," jawab Papa.

Aku nyaris tersedak nasi gorengku. "Hah?"

"Nathan kemarin menelepon ke rumah. Katanya ia ingin berbicara denganmu tapi tidak tahu nomor teleponmu. Akhirnya dia menelepon ke rumah karena nomor telepon rumah kita ada di buku telepon orangtuanya," jelas Mama.

"Apa yang dia katakan?" tanyaku pelan.

"Dia berkata dia ingin meminta maaf kepadamu. Saat Mama tanya kenapa dia meminta maaf, dia menjelaskan semuanya. Dia juga berkata dia minta maaf karena cupcake-cupcake buatan Mama hancur," jawab Mama.

Aku mendengus. "Apakah dia menjelaskan alasan dari tindakannya itu?"

"Dia berkata dia iseng," jawab Papa sambil terkekeh pelan. "Papa suka anak itu. Anak itu selalu jujur. Seperti saat dia merobek-robek novelmu. Dia tidak berusaha mencari-cari alasan yang terdengar masuk akal sekaligus yang menguatkan alasan perbuatannya. Dia jujur dan dia menyesal."

Aku menyahut, "Dia tidak pernah menyesal."

[']

Bel istirahat pertama berdering. Dengan malas, aku merapikan buku-bukuku dan bangkit dari dudukku. Sebelum aku bisa melangkah pergi, Nathan memanggilku.

Aku menghiraukannya dan langsung berjalan ke luar kelas. Seharian ini, Nathan terus memanggil-manggil namaku. Aku tidak tahu apa yang diinginkannya. Tapi aku cukup yakin bahwa aku sama sekali tidak peduli.

Aku membuka pintu loker dan memasukkan buku-bukuku ke dalamnya. Aku sedang meraih dompetku ketika seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh.

Aku langsung mendengus ketika melihat Nathan di belakangku. Seharusnya aku tahu itu Nathan.

"Apa yang akan kau lakukan dengan dompetmu itu?" tanya Nathan sambil melirik dompet yang sedang kuambil dari dalam tas.

"Memukul kepalamu."

Nathan mengerutkan dahinya. "Kau tidak berharap bisa ke kantin kan? Sekarang kita seharusnya menghampiri ruang Bu Neli."

"Kukira kita bertemu Bu Neli jam istirahat kedua," kataku.

Nathan mendengus. "Tadi pagi Bu Neli menghampiriku dan mengatakan bahwa jadwalnya dimajukan. Karena itulah aku berusaha memanggilmu dari tadi, tapi kau tidak mau mendengar."

Aku mengangkat bahuku lalu melemparkan dompetku kembali ke dalam loker. "Ya sudah, kalau begitu cepat ke ruang Bu Neli. Aku tidak mau membuang-buang waktu lebih lama lagi denganmu."

"Kau kira aku mau?" Aku bisa mendengar gumaman Nathan itu ketika dia mengikutiku dari belakang.

[']

Setelah mempersilakan kami untuk duduk di depan mejanya, Bu Neli kemudian duduk dan menyandarkan diri di kursinya. Ia kemudian menatap kami bergantian lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

"Aku benar-benar bingung, hukuman apa lagi yang tepat untuk kalian berdua," katanya.

"Yang jelas bukan hukuman gudang," gumam Nathan. Aku bisa mendengarnya, tapi kurasa Bu Neli tidak mendengarnya.

Bu Neli menoleh kepadaku lalu berkata, "Sekolah benar-benar berharap banyak pada acaramu kemarin, Ana. Apalagi dengan rencana kehadiran Sarah. Kami benar-benar kecewa."

Aku ingin sekali menyelanya dan membela Komunitas Hujan, tapi aku tahu, saat ini bukanlah saat yang tepat.

Bu Neli kemudian menoleh dan menatap Nathan sambil menghela napas, "Aku benar-benar tidak habis pikir denganmu, Nathan. Kata semua orang, kau yang merencanakan hal itu. Alasan apa yang membuatmu melakukannya?"

"Aku hanya iseng," jawab Nathan tanpa ragu.

Bu Neli menghela napasnya. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Sekolah benar-benar kecewa dengan kalian berdua—"

"Berdua?" selaku. Aku tidak tahan lagi. "Apa salahku dan teman-teman komunitasku? Kalau Nathan dan teman-temannya tidak datang dan mengacaukan acara, acara itu pasti berlangsung dengan baik."

"Kalau kau tidak terus-terusan bertengkar dengan Nathan, Nathan tidak mungkin mengacaukan acaramu," tukas Bu Neli. "Kalian pikir, apa gunanya aku memberikan hukuman kepada kalian berdua? Memangnya kalian pikir, aku tidak tahu bahwa kalian tidak mengerjakan apa-apa di gudang? Aku tahu, Nak. Aku hanya berharap kalian bisa mengisi waktu hukuman kalian itu dengan mengobrol dan memperbaiki hubungan kalian."

Aku dan Nathan sama-sama terdiam. Kami tidak menyangka Bu Neli tahu bahwa kami tidak melakukan apa-apa di gudang.

Bu Neli menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. "Ibu selalu berharap kalian berdamai. Ibu benar-benar tidak habis pikir, apa sebenarnya yang membuat kalian terus bertengkar—"

"Aku juga tidak tahu," selaku. Aku melirik Nathan seklias sebelum melanjutkan, "Nathan yang lebih dulu membenciku hanya gara-gara aku menyukai novel Peter Rain."

Bu Neli menoleh kepada Nathan sambil tersenyum kecut. "Kau harus berhenti, Nathan.  Aku berani bertaruh Nada tidak akan suka itu."

Aku bisa mersakan sikap Nathan langsung berubah. Aku tidak bisa mengatakan apanya yang berubah—hanya saja, dia berubah.

Tapi hanya sesaat sebelum dia mengangkat bahunya dan berkata, "Kau tidak tahu apa yang disukainya dan apa yang tidak disukainya."

"Oh, memang. Tapi aku cukup yakin, kalau aku Nada, aku tidak akan suka dengan perbuatanmu," sahut Bu Neli sambil tersenyum.

Siapa Nada? Setelah berpikir-pikir sejenak, aku menyimpulkan bahwa Nada mungkin saja adalah ibu Nathan. Bu Neli adalah wanita yang cukup tua untuk mengajar seorang murid lalu mengajar anak dari murid itu.

Aku baru akan mengingatkan diriku untuk mengecek nama ibu Nathan di buku telepon ketika aku tersadar betapa tidak pentingnya hal itu. Jadi aku memutuskan untuk melupakannya saja.

Nathan tidak menjawab apa-apa lagi setelah itu. Bu Neli kemudian mengehela napas lalu menatap kami berdua bergantian. "Ibu akan memberikan kalian hukuman," katanya. Tentu saja. "Mulai besok, kalian berdua harus belajar bersama di perpustakaan setiap jam pulang sekolah selama satu bulan. Ibu sudah menyampaikan hal ini kepada Bu Indah—penjaga perpustakaan saat sore. Dan dia akan memastikan kalian selalu datang ke sana dan belajar dengan benar."

Ini buruk. Menghabiskan lebih banyak waktu bersama Nathan Adinata. Tidak ada yang bisa lebih buruk daripada ini.

"Dan Ana," kata Bu Neli. "Aku minta maaf yang sebesar-besarnya kepadamu. Aku benar-benar menyesal harus melakukan ini. Ini bukan hanya kebijakanku saja—melainkan kebijakan sekolah. Sampai Komunitas Hujan bisa membuktikan diri bahwa komunitas itu pantas di sekolah ini, Komunitas Hujan terpaksa dibubarkan oleh sekolah."

Kurasa aku salah. Yang barusan, adalah yang terburuk.[]

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now