BAB XXVII

15.1K 2.3K 136
                                    

Sejak aku memaafkan Nathan, bunyi bel pulang sekolah kembali terdengar kring...kring...kring! di telingaku.

Siapa yang menyangka berbaikan dengan seseorang membuatmu merasa seolah-olah lebih ringan. Terkadang, aku merasa benar-benar ringan sampai secara tidak sadar, aku melompat-lompat kecil saat berjalan, tertawa lebih keras daripada yang seharusnya, tersenyum lebih lebar daripada yang diperlukan. Aku benar-benar merasa lega. Seolah-olah selama ini aku adalah Atlas* yang menopang langit dan sekarang langit itu telah diangkat dari pundakku.

"Hai." Megan duduk di sebelahku sambil meletakkan sepiring batagor di atas meja. "Kelasku benar-benar menyebalkan. Kami belajar lebih lama dari yang seharusnya dan kami tidak mendapatkan jam istirahat tambahan."

Aku tertawa sambil memasukkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutku. "Kasihan sekali."

"Memang," gerutu Megan.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu dengan Kenzo?" tanyaku.

Megan tiba-tiba memerah. "Aku nyaris selalu pulang bersamanya akhir-akhir ini."

"Bagaimana dengan janjimu untuk mengajarinya Matematika setiap akhir pekan?" tanyaku.

"Berjalan dengan cukup baik. Kami kadang belajar di rumahnya. Atau kadang-kadang belajar di tempat makan kesukaannya," jawab Megan.

Aku tersenyum. "Kurasa sebentar lagi kalian akan benar-benar berkencan."

"Kuharap begitu," gumam Megan, tapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Usahamu selama ini untuk 'menyembunyikan dan merawat' perasaanmu tampaknya berhasil," komentarku.

"Ya, walaupun sampai sekarang kurasa aku juga belum menunjukkan perasaanku dengan jelas kepada Kenzo," kata Megan. "Tapi kadang, darah di dalam tubuhku tidak bisa diajak bekerja sama. Darah itu sering naik dengan seenaknya ke wajahku di saat-saat tidak tepat yang membuat Kenzo tertawa terbahak-bahak."

Aku tertawa kecil. "Kurasa semua usahamu menahan perasaan itu akan terbalas."

"Ya, selamat untuk diriku," kata Megan. "Tapi aku tidak yakin aku bisa mengucapkan selamat kepada Rean. Bagaimana perasaanmu terhadap cowok itu?"

Aku mendesah. "Kau tahu kan, bahwa perasaan seseorang tidak bisa dipaksakan?"

"Aku tahu."

[']

Bel pulang sekolah berdering. Aku merapikan barang-barangku lalu memutar tubuh untuk menghadap Nathan. "Ayo," kataku.

Nathan sedang berkutat dengan ponselnya. "Kau duluan saja." Dia tidak mengangkat pandangan dari ponselnya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Aku ada urusan sebentar," jawab Nathan. Ia bangkit dari kursinya lalu menatapku. "Tapi kalau kau mau mengikutiku dan menunggu tidak masalah. Aku tidak peduli." Kemudian ia berjalan meninggalkan kelas, aku mengikuti di belakangnya.

Berbaikan dengan Nathan, bukan berarti sikapnya—dan sikapku—akan berubah manis terhadap satu sama lain. Nyaris tidak ada perbedaan dari cara kami berbicara terhadap satu sama lain. Tapi ada perbedaan yang sangat besar di dalam diri kami. Dan itu penting sekali.

Aku berjalan mengikutinya menuju aula. Ia membuka pintu aula dan hendak masuk sebelum ia berbalik dan menatapku, "Kau tunggu di luar saja."

"Baiklah."

Nathan melangkah memasuki aula tanpa repot-repot menutup pintunya. Aku bisa melihat ada seseorang di dalam. Aku mengangkat alis kananku dengan heran begitu mengenali sosok yang ada di dalam. Nayla.

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now