BAB XXXI

14.3K 2.9K 431
                                    

Nathan terus memaksaku untuk membacakan novel Mr. Peter untuknya. Aku sudah menolak permintaan aneh itu berkali-kali tapi dia tetap memaksaku. Akhirnya aku menyerah.

"Apakah rumahmu kosong?" tanya Nathan. Aku berjalan melewati pekarangan rumahku, Nathan mengikuti di belakang.

"Biasanya ibuku ada di rumah. Tapi tadi pagi, ibuku berkata dia ada urusan dengan teman-temannya sore ini. Jadi yah, rumahku kosong," kataku. Aku meraih gagang pintu. Tapi sebelum membukanya, aku membalik tubuhku dan menatap Nathan. "Tapi jangan berpikir kau bisa berbuat macam-macam."

Nathan tertawa. "Tenang saja. Aku hanya ingin mendengarmu membacakan cerita Peter Rain itu."

"Bagus." Aku membalikkan tubuhku lalu membuka pintu rumah. Nathan mengikutiku.

"Kau tunggu saja di sofa," kataku begitu kami sampai di ruang keluarga. "Aku akan mengambil novelnya di kamarku."

"Baiklah."

Aku menaiki tangga dan bergegas memasuki kamarku. Aku melempar tasku ke atas kasur lalu meraih novel Mr. Peter milik Nada. Sejenak aku terdiam. Aneh sekali rasanya menerima Nathan di rumahku. Apalagi saat tidak ada orang kecuali kami.

Oke, ini mulai mengerikan. Sejak kapan aku menggunakan kata kami untuk aku dan Nathan?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku lalu melangkah ke luar. Aku menuruni tangga dan mendapati Nathan sedang berdiri di depan foto-foto keluargaku.

"Jadi kau anak tunggal?" tanya Nathan. Ia bahkan tidak menoleh untuk melihatku yang berdiri di sebelahnya.

"Ya," jawabku.

"Kalau begitu kita sama."

"Nada masih saudaramu."

Ekspresi Nathan berubah. Dia tampak menyesal. "Kau benar. Kadang aku terbiasa dengan kebohongan tentang anak tunggal sehingga aku kadang benar-benar lupa bahwa aku bukan anak tunggal."

"Kurasa itu wajar," hiburku.

Nathan mengangkat bahunya. "Jadi kapan kau mulai bercerita?"

[']

Kurasa aku sudah membacakan setengah novel Mr. Peter untuk Nathan. Atau lebih. Aku tidak yakin. Kurasa aku ketiduran ketika sedang membacakan Mr. Peter untuk Nathan. Aku tidak ingat kapan tepatnya aku berhenti membaca. Hal yang selanjutnya kuingat adalah, aku terbangun di sofa, dengan bantal yang menyangga kepalaku, dan novel yang sudah berpindah ke meja rendah di depan sofa. Dan ada secarik kertas di atas novel itu.

Aku memajukan tubuh untuk mengambil kertas tersebut.

Kau benar-benar pembaca cerita yang payah. Kau berbicara dengan sangat cepat. Kadang-kadang kau malah nyaris tidak berbicara, hanya membaca dalam hati untuk dirimu sendiri. Kau bahkan tertidur! Jadi aku pulang saja. Dadah.

n.b aku yang menyelipkan bantal di bawah kepalamu. Kukira kalau aku tidak melakukan itu, kepalamu akan copot dan menggelinding di lantai dengan aneh.

Aku tersenyum. Itu pasti tulisan Nathan, tulisannya sama dan isinya—

Tunggu. Apakah aku tersenyum?

Kacau. Kenapa sekarang aku sering tersenyum gara-gara Nathan? Ini benar-benar sinting.

"Kenapa kau tersenyum?"

Aku menoleh dan mendapati Mama berdiri di belakangku. "Kapan Mama pulang?"

"Baru saja," jawabnya. "Kau ketiduran di sofa tadi."

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now