BAB XVI

17.4K 2.6K 59
                                    

Megan menghempaskan dirinya di atas sofa di sebelahku. Ia mengulurkan tangan kanannya untuk meraih wadah popcorn dari meja rendah di hadapan kami. Sambil melakukan itu, Megan berkata, "Sekarang, jelaskan."

"Jelaskan apa?" tanyaku tanpa mengalihkan tatapan dari layar televisi.

Aku bisa mendengar Megan mendengus sebal. "Jangan pura-pura tidak tahu," kata Megan. "Kenapa kau menghindari Rean?"

Aku menghela napas. "Aku tidak suka padanya," jawabku. Kemudian, aku cepat-cepat menambahkan, "Dan jangan tanya kenapa."

Megan menoleh kepadaku sambil mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

"Megan!"

Megan tertawa kecil. "Maaf. Tapi aku sama sekali tidak mengerti. Kenapa kau tidak menyukai Rean? Sejauh aku mengenalnya, kurasa dia cowok yang baik," katanya. "Setidaknya dia sama sekali tidak menyebalkan seperti Nathan."

Aku menghembuskan napas dan membuat kedua pipiku menggembung. "Aku tidak tahu. Aku hanya—entahlah. Aku tidak nyaman jika Rean berada di dekatku."

"Tidak nyaman bagaimana?" tanya Megan.

"Yah, aku terpaksa tersenyum, terpaksa mendengarkan celotehannya, terpaksa menjawab pertanyaan basa-basinya—"

"Itu hanya karena kau jarang dekat dengan cowok," sela Megan.

"Aku punya cukup banyak teman cowok," kataku tidak mengerti.

"Bukan begitu," kata Megan. "Maksudku, kau jarang dekat dengan cowok dalam hal yang menyangkut perasaan suka—malah hampir tidak pernah."

Aku memelotot, tapi tidak mengatakan apa-apa, karena yang dikatakan Megan memang benar.

"Aku benar, kan?" Megan membetulkan posisi duduknya di sofa. "Kurasa, Rean adalah cowok pertama yang benar-benar dekat denganmu dalam menyangkut perasaan suka."

"Oke," kataku lambat-lambat. "Lalu apa hubungannya? Kenapa aku tidak menyukainya? Apakah aku ditakdirkan untuk tidak pernah punya perasaan suka?" Aku bertanya sambil menaikkan alis kananku.

Megan mendengus geli. "Bukan begitu," kata Megan. "Kau hanya tidak terbiasa."

"Jadi?"

"Jadi, kau harus membiasakan dirimu sendiri," kata Megan sambil tersenyum senang—seolah-olah dia adalah seorang penemu genius yang berhasil menemukan alat transportasi dari dunia fiksi ke dunia nyata.

"Jadi, aku harus meladeni Rean dan tidak mengindarinya?" tanyaku.

"Itu saranku." Megan mengangkat bahunya. "Kecuali kau mau menjadi cewek aneh yang tidak punya perasaan suka."

"Aku suka Peter Rain," kataku tidak terima.

"Ya, bukan itu maksudku!" kata Megan sambil memasukkan popcorn ke dalam mulutnya. "Suka pada cowok yang nyata."

"Kau mulai terdengar seperti ayahku," komentarku.

"Kalau begitu, kau harus mulai mendengarkan ayahmu," sahut Megan.

Aku mendesah sambil menyenderkan tubuhku ke sofa. "Tapi aku benar-benar tidak tahan dengan Rean. Memangnya aku tidak boleh menghindarinya?"

"Aku kasihan kepadanya," kata Megan tanpa mengalihkan tatapan dari televisi. "Dia tampaknya benar-benar menyukaimu."

"Memangnya dia tidak bisa menyukai cewek lain saja?"

"Aku bisa melakukan dan mengatur apa pun dalam hidupku sesuka hatiku—kecuali perasaan. Suka atau tidak suka, hatiku tetap harus menerima perasaan yang datang padaku untukmu." Megan mengutip sebaris kalimat dari novel Mr. Rain. Dia kemudian menoleh padaku dan berkata, "Itu yang dirasakan Rean sekarang. Jangan salahkan dia kalau dia menyukaimu. Kalau dia bisa memilih, kurasa dia tidak akan menyukaimu yang sama sekali tidak punya perasaan."

Next Door to the RainOù les histoires vivent. Découvrez maintenant